Health

Wanita Wajib Kenali Gejala Menopause, Hindari Gangguan Jiwa dan Turunnya Kualitas Hidup

puanpertiwi.com – Saat ini, Indonesia sudah termasuk dalam negara menua (aging country) hal ini ditunjukan dengan peningkatan populasi penduduk lansia setiap tahunnya.

Sementara, sejak pada tahun 2010, penduduk lansia mengalami peningkatan sebesar 18 juta dan diprediksi akan terus menigkat menjadi 48,2 juta jiwa (15,77%) pada tahun 2035.

Hal ini tentu menjadi alasan yang kuat akan perlunya kesadaran masyarakat dalam hal kesehatan jasmani dan kesehatan mental bagi penduduk usia 40 tahun ke atas.

Sebagai kaum perempuan harus bisa meningkatkan kesadaran mengenai kondisi menopause, khususnya yang berhubungan dengan daya pikir (kognitif) dan pengelolaan emosi.

Perubahan kognitif dan psikologi ini disebabkan oleh perubahan hormon yang terjadi pada tubuh perempuan menopause.

Penting untuk melakukan deteksi dini gejala-gejala yang terjadi pada perempuan menopause agar tidak terjadi penurunan kualitas hidup.

Gangguan kognitif merupakan gejala yang paling umum dialami setidaknya 44-62% populasi.

Perubahan hormon pada perempuan dalam masa menopause menyebabkan penurunan kemampuan berpikir, yaitu mengalami kondisi lupa sesaat atau ‘Brain fog’, kesulitan memilih kata (verbal fluency), dan penurunan daya ingat.

Selain itu, perubahan hormon seperti estrogen, FSH dan LH, serta fluktuasi prolaktin dan kortisol menjadi penyebab gejala stress, kecemasan, dan depresi dialami oleh perempuan dalam masa menopause.

Dalam masa perimenopause dan postmenopause, setidaknya perempuan#vn as mengalami peningkatan risiko 2 sampai 4 kali untuk mengalami depresi.

Oleh karena itu, dengan adanya Hari Menopause Sedunia, para pakar kesehatan, mengatakan kondisi ini tak perlu ditakuti, namun perlu dihadapi secara siap.

Dengan membekali pengetahuan yang cukup, termasuk mengetahui kondisi kognitif, mental dan perubahan fisik terkait fase ini.

Dalam Virtual Press Conference Rabu 19 Oktober 2022, yang bertajuk Life After 40 Happy and Healthy KESEMPATAN (Kehidupan Setelah Empat Puluh Tahun): Sehat dan Bahagia, dr. Achmad Mediana, Sp.OG, Sekretaris Jendral Perkumpulan Menopause Indonesia (PERMINESIA) menyatakan, ingin memberikan informasi seluas-luasnya tentang pentingnya menumbuhkan kesadaran dalam masyarakat.

Selain itu, pihaknya siap menyiapkan tenaga ahli yang mampu memberikan pedoman dan acuan dasar bagi perempuan dalam memasuki masa menopause di usia 40 hingga 60 tahun, agar tetap terjaga kesehatan jiwa dan raganya.

Pada kesempatan yang sama, Dr. dr. Tita Husnitawati, Sp.OG (K)-Fer, Presiden Perkumpulan Menopause Indonesia (PERMINESIA), menjelaskan bahwa menopause merupakan kejadian alamiah yang pasti dialami semua perempuan.

Menurutnya, perubahan hormon pada tubuh perempuan menopause menyebabkan gejala-gejala yang dapat mengurangi kualitas hidup.

“Semua perempuan harus mengenal gejalanya, kapan terjadi untuk siap menghadapi sebagai proses alami yang patut disyukuri,” kata dr. Tita

Ia melanjutkan, kondisi menopause menyebabkan gejala atau sindroma metabolik yang terdiri dari obesitas perut yang ditandai lingkar perut lebih dari 80 cm, tekanan darah meningkat, dan pemeriksaan laboratorium menunjukan profil lemak abnormal dan gula darah meningkat.

Hal ini terjadi karena konsumsi makanan berkalori tinggi, kebiasaan merokok, dan
pertambahan usia.

Risiko perubahan tubuh akibat menopause dapat dihindari dengan kebiasaan hidup sehat yaitu dengan berolahraga teratur, mengonsumsi makanan bernutrisi sehat dan gizi seimbang, dan menghilangkan kebiasaan buruk seperti merokok.

“Jenis olahraga yang tepat adalah olahraga yang membuat lancar atau tidak menghambat pertukaran udara (aerobik) adalah jenis olahraga yang dianjurkan, sebaiknya dilakukan setiap hari selama 30 menit, minimal 4 kali seminggu, dengan jenis aktivitas yang disesuaikan dengan usia,” tutur dr. Tita.

Selain gaya hidup, pengobatan untuk gejala menopause dapat dilakukan dengan pengobatan hormon.

“Pengobatan hormon untuk keluhan menopause bukan pengobatan utama untuk menopause, lagi pula bila ibu memiliki sindroma metabolik obat tersebut tidak bisa digunakan,” tambah dr. Tita.

Dr. Tita juga mengatakan bahwa, penelitian terkini membuktikan bahwa pengobatan hormon relatif aman bila diberikan topikal, melalui kulit, selaput lendir atau vagina.

Masih dalam kesempatan yang sama, Dr. dr. Natalia Widiasih, Sp.KJ (K), MPd.Ked, Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa, menjelaskan bahwa perubahan hormon yang dialami perempuan dalam masa menopause menyebabkan gejala-gejala yang menganggu produktivitas dan dapat menurunkan kualitas hidup.

Perempuan dalam masa menopause rentan mengalami penurunan daya berpikir (fungsi kognitif), khususnya berupa penurunan daya ingat dan kelancaran verbal, yang berpotensi menjadi demensia di kemudian hari.

Selain mengganggu kemampuan kognitif, perubahan hormon juga mengganggu kesehatan mental perempuan di masa menopause.

“Perempuan menopause lebih rentan mengalami gangguan mood yang meliputi perasaan gelisah, sensitif, dan perubahan mood yang fluktuatif (mood swing),” kata dr. Natalia.

Perubahan mood tersebut nantinya dapat berkembang menjadi lebih berat dan menyebabkan gejala kecemasan dan depresi.

Gejala kecemasan, jelasnya, ditandai dengan perasaan gelisah, panik, berkeringat, hingga sesak napas.

Sementara, depresi dapat ditandai dengan perasaan lelah, tidak berenergi, gangguan tidur, konsentrasi yang buruk, dan perubahan berat badan yang dapat memperburuk kualitas hidup.

Selain itu, proses penuaan pada fisik perempuan menimbulkan rasa tidak percaya diri dan terbentuknya pandangan negatif pada
dirinya (negative body image).

“Berbagai faktor lain seperti keadaan ekonomi, dukungan sosial yang rendah, kondisi medis tertentu, riwayat gangguan mental, dan kepribadian individu juga dapat berpengaruh terhadap perubahan mood,” jelas dr. Natalia.

Hubungan dalam keluarga dan pasangan yang baik dapat membantu meringankan stress akibat menopause dan membantu perempuan menjadi lebih resilien dalam melewati fase ini.

Peran support system sangat penting dalam membantu perempuan menjalankan masa menopause.

Ketika terdapat disfungsi seksual akibat menopause, pasangan perlu saling mengkomunikasikan ekspektasi satu sama lain terkait hubungan seksual.

Pasangan juga dapat melakukan couples therapy untuk membantu pasangan agar dapat saling memahami dan membentuk strategi dalam menghadapi perubahan biologis, hormonal, dan psikologis yang sedang terjadi.

“Beberapa hal yang perlu dibicarakan adalah bagaimana fase menopause ini berdampak pada hubungan, keintiman, seksualitas, dan bagaimana harapan dan ekspektasi terhadap satu sama lain dalam melewati fase ini,” tutup dr. Natalia.*

 

Penulis: Dwi Kartika Sari

Tags : featured

Leave a Response