Health

Kampanye Hari Ginjal Sedunia 2022: Jembatani Kesenjangan Pengetahuan Untuk Kesehatan Ginjal Yang Lebih Baik

puanpertiwi.com – Hari Ginjal Sedunia  (World Kidney Day atau WKD) merupakan bentuk kampanye global yang bertujuan untuk meningkatkan peran serta kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kesehatan ginjal.

Hari Ginjal Sedunia diperingati setiap tahun, yang jatuh di setiap hari Kamis pada minggu kedua di bulan Maret.

Tahun ini, Hari Ginjal Sedunia kembali diperingati di Indonesia dan di seluruh dunia pada tanggal 10 Maret 2022.

Sementara pada tahun ini, WKD mengangkat tema ‘Kesehatan Ginjal untuk Semua: Pengetahuan untuk Perawatan Ginjal Yang Lebih Baik’ yang secara spesifik melibatkan seluruh lapisan masyarakat untuk bekerja sama dalam pelayanan kesehatan ginjal yang lebih baik.

Pada tahun ini kampanye lebih pada upaya untuk meningkatkan kewaspadaan dan pengetahuan tentang kesehatan melalui peningkatan literasi kesehatan.

Mengingat, penyakit Ginjal Kronik (PGK) tercatat sebagai penyebab 4,6% kematian global pada tahun 2017 dan merupakan peringkat ke-12 sebagai penyebab kematian.

Angka ini diprediksi akan terus meningkat dan PGK diperkirakan akan menjadi penyebab kematian tertinggi ke-5 di seluruh dunia pada tahun 2040.

Di Indonesia, prevalensi PGK meningkat setiap tahun, bila tidak diobati suatu ketika dapat mengalami gagal ginjal.

Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan 2018, prevalensi PGK adalah 0,38% Data registry Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) pada tahun 2020 menunjukkan insidensi latar belakang dialisis (cuci darah) 61.786, dan latar belakang terjadinya 130.931.

Dengan angka gagal ginjal ini, maka tidak hanya menjadi beban bagi pasien dan keluarga, melainkan juga beban yang dikeluarkan oleh BPJS Kesehatan sangat tinggi.

Dalam penelitian ilmu medis, penyebab utama gagal ginjal adalah tekanan darah tinggi (hipertensi) dan kencing manis (diabetes).

Namun umumnya, penyakit ginjal pada awalnya tidak bergejala, akibat banyak orang yang tidak mengetahui bahwa mengalami gangguan ginjal.

Yang terpenting, masih banyak yang belum memahami bagaimana memelihara kesehatan ginjal dan apa yang perlu dilakukan kemudian fungsi ginjalnya menurun.

Karena itu, diperlukan adanya kolaborasi yang baik antara pemerintah, tenaga kesehatan dan organisasi kesehatan, industri kesehatan, pasien/keluarga serta masyarakat, secara bersama-sama untuk meningkatkan pengetahuan dan literasi kesehatan ginjal.

Terkait dengan kasus ini, Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) sebagai organisasi perhimpunan dokter yang berkecimpung dalam layanan ginjal-hipertensi, menyelenggarakan rangkaian acara WKD 2022 sebagai bentuk komitmen dan upaya meningkatkan literasi kesehatan masyarakat dan pasien mengenai PGK dan upaya pencegahannya.

Berbagai kegiatan WKD 2022 dalam bentuk webinar dari fokus pada tenaga kesehatan, dokter umum di FKTP, serta pasien PGK dan masyarakat umum.

Dalam kegiatan ini, PERNEFRI akan melakukan sosialisasi dengan berbagai pemangku kepentingan dan kebijakan di bidang kesehatan, yaitu Kementerian Kesehatan RI, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI), dan serta sektor industri kesehatan.

Besar harapan melalui kegiatan WKD 2022, upaya peningkatan literasi kesehatan dapat berlangsung secara berkelanjutan dan berimplikasi pada pencegahan PGK yang efektif dan peningkatan kualitas hidup pasien PGK.

dr.Imran Agus Nurali, Sp.KO, Direktur Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Kemenkes RI, yang mewakili Menteri Kesehatan RI, dalam sambutannya pada Konferensi Pers Virtual PERNEFRI hari ini Rabu, 9 Maret 2022, saat ini negara Indonesia sedang menghadapi tiga beban/ beban tiga kali lipat berbagai masalah penyakit.

“Yang pertama, adanya Penyakit Infeksi New Emerging dan Re-Emerging seperti Covid 19. Kedua, Penyakit Menular belum teratasi dengan baik. Dan yang ketiga, Penyakit Tidak Menular (PTM) cenderung naik setiap tahunnya,” kata Imran, dalam sambutannya pada Virtual Press Conference hari ini Rabu, 9 Maret 2022.

Lebih lanjut, Imran mengatakan, beban masalah di Indonesia itu, karena dilihat dari porsi pengeluaran kesehatan Indonesia masih berfokus pada upaya kuratif.

“Tantangan kesehatan di Indonesia salah satunya adalah terkait dengan Penyakit Tidak Menular (PTM). Angka PTM sejak tahun 2010 mulai meningkat,” tambahnya.

Menurutnya, adanya pola makan, pola asuh, pola gerak dan pola makan seperti tinggi kalori, rendah serat, tinggi garam, tinggi gula dan tinggi lemak diikuti gaya hidup sedentary lifestyle.

Selain itu, memilih makanan junk food/siap, ditambah dengan kurangnya aktivitas, stres dan kurangnya istirahat juga dapat memicu timbulnya penyakit hipertensi, Diabetes Militus, Obesitas, Kanker, Jantung, dan hiperkolesterol dikalangan Masyarakat Indonesia.

“Upaya kami adalah dengan harus terus menekan angka kejadian PTM agar semakin rendah dalam rangka mendorong target pembangunan kesehatan termasuk target SDGs 2030,” jelasnya.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum PERNEFRI, dr. Aida Lydia, PhD., SpPD, K-GH mengatakan, adanya kendala dari sekitar pasien dengan PGK yang belum mengetahui mengenai penyakitnya.

Hal itu karena, pada awal perjalanan penyakit PGK umumnya tidak memiliki gejala.

“Progresifitas/perjalanan penyakitnya serta modalitas terapi yang ada bila kemudian mengalami gagal ginjal. Pada awal perjalanan penyakit PGK umumnya tidak ada gejala, berbagai keluhan baru yang dirasakan bila penyakit sudah lanjut,” ungkap Aida.

Lebih lanjut Aida mengatakan, kurangnya pengetahuan mengenai kesehatan ginjal menjadi salah satu penyebab pada umumnya pasien sering terlambat berobat dan sering datang dalam kondisi yang sudah lanjut.

“Gangguan ginjal dapat mudah dengan mengendalikan faktor risiko, diagnosis dini dan tatalaksana yang optimal agar pasien tidak sampai mengalami gagal ginjal,” ujar Aida.

Dalam permasalahan ini, adanya pengetahuan di tengah masyarakat merupakan momok di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia.

“Situasi ini turut berdampak pada peningkatan angka kejadian PGK dan kualitas rendahnya pasien hidup dengan PGK,” tulisnya.

Oleh karena itu, menurut Aida, adanya literasi kesehatan pada semua kalangan menjadi kunci yang dapat meningkatkan kewaspadaan dan keberhasilan program kesehatan pemerintah.

Literasi kesehatan sebagai kemampuan seorang individu dalam memperoleh atau memahami, serta menggunakan informasi kesehatan tersebut untuk mengambil keputusan dan tindakan medis, baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain.

“Pada saat literasi kesehatan masyarakat umum kita bahkan dikalangan pasien PGK sendiri masih tergolong rendah. Masih ada masyarakat yang belum mengetahui apa itu organ ginjal dan fungsinya,” papar Aida.

Aida menjelaskan, terdapat studi yang menunjukkan bahwa 90% orang PGK tidak menyadari tentang penyakit yang diderita.

Hal ini menunjukkan minimnya informasi kesehatan dikalangan masyarakat.

Sedangkan, secara umum masyarakat perlu diinformasikan mengenai faktor risiko PGK, langkah pencegahan, deteksi dini, nilai laboratorium yang perlu dipantau dan maknanya.

Selain itu juga, perlu diketahui dampak jangka panjang apa saja yang akan dialami, serta strategi pengobatan apa yang akan dijalani.

Informasi-informasi ini bersifat sangat spesifik untuk setiap pasien yang dapat dicapai oleh pasien dan keluarga.

Selain itu, lebih lanjut Aida menegaskan, masih banyak misinformasi di kalangan masyarakat, yang dalam jangka panjang dapat membahayakan kesehatannya.

Kesalahpahaman itu sendiri adalah kondisi di mana masyarakat atau pasien mempercayai informasi yang keliru, dan menjadikan informasi tersebut sebagai dasar dalam menentukan langkah pengobatan dan gaya hidup yang berlaku.

Sebagai contoh, masih ada yang berpendapat tidak perlu minum obat hipertensi atau obat diabetes karena obat kimia dapat merusak ginjal. Sebenarnya, yang merusak ginjal bukan obatnya tetapi penyakit hipertensi dan diabetes itu sendiri,” jelas Aida.

Ia juga mengatakan bahwa tenaga kesehatan memiliki peranan yang penting dalam mengedukasi pasien.

Sementara itu, edukasi yang diberikan harus bersifat sedini mungkin dan disesuaikan dengan kebutuhan individu pasien.

Selain itu, edukasi dapat terlaksana dengan baik di semua tingkat layanan kesehatan.

Selain itu, pasien dan keluarga harus diberdayakan dan diperhatikan secara proaktif pengetahuannya dan literasi kesehatannya sendiri melalui sumber yang dapat dipercaya sehingga berperan aktif dalam menjaga kesehatan dan keluarganya.

Pada kesempatan yang sama juga, dr. Elvieda Sariwati, M.Epid, Plt. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengatakan, adanya tren peningkatan PGK pada tahun 2013-2018.

“Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar, tren Penyakit Ginjal Kronik terlihat mengalami peningkatan dari 0,2% pada tahun 2013 menjadi 0,38% pada tahun 2018,” kata Elvieda.

Lebih lanjut Elvieda mengatakan, berdasarkan data IHME Global Burden of Diseases tahun 2019, PGK masuk dalam 10 besar penyebab kematian tertinggi di Indonesia.

Berdasarkan data Jaminan Kesehatan Nasional tahun 2020, pembiayaan bagi penderita Gagal Ginjal mencapai 2,24 trilyun rupiah dari 20 trilyun rupiah yang digunakan untuk total pembiayaan penyakit katastropik.

Strategi pencegahan dan pengendalian penyakit kronis meliputi promosi kesehatan atau edukasi, pencegahan primer pada sasaran populasi sehat dan berisiko,” tulisnya.

Sementara, pada pencegahan sekunder, Elvieda memaparkan, dapat dilakukan pada populasi orang penyakit tidak menular seperti Hipertensi, Diabetes Melitus, Obesitas, dan penyakit tidak menular lainnya melalui upaya deteksi dini dan tatalaksana kasus untuk komplikasinya seperti PGK ini.

Dalam Konferensi Pers Virtual ini, Direktur Utama Dewan Direksi BPJS Kesehatan, Prof. dr.Ali Ghufron Mukti, MSc., Ph.D juga ikut menambahkan, Penyakit Gagal Ginjal Kronik merupakan salah satu penyakit kronis yang dapat menyebabkan pembiayaan katastropik bagi para penderitanya.

Data yang didapat, sampai dengan saat ini mencapai 6,9 juta kasus pertahun dengan 238 ribu sampai dengan 405 ribu jiwa yang telah mendapatkan pelayanan dengan diagnosa gagal ginjal yang pembiayaannya dijamin oleh program Jaminan Kesehatan Nasional dengan biaya berkisar 4,3 sd 7, 5 Triliyun setiap tahunnya.

Sedangkan untuk pelayanan HD sendiri, lebih lanjut Ali Ghufron mengatakan, setidaknya 6 juta kasus telah dilayani dan dijamin oleh BPJS Kesehatan melalui Program JKN pada tahun 2021 dengan biaya 4,7 Triliyun.

“BPJS Kesehatan saat ini telah mengimplementasikan penyederhanaan rujukan bagi para peserta yang mendapatkan layanan kesehatan hemodialisa bagi peserta gagal ginjal kronis, serta layanan transfusi dan pemberian obat rutin bagi peserta yang menderita thalassemia dan hemofilia,” tulisnya.

Terkait dengan kasus ini, Ali Ghufron mengatakan, peserta akan mendapatkan kemudahan dengan langsung mengakses layanan rujukan tingkat-tingkat dimana ia dilayani.

“BPJS Kesehatan berkomitmen untuk dapat terus-menerus bekerja, bekerja sama, dan berkolaborasi lebih baik lagi dengan semua pemangku kepentingan. Karena kami yakin bahwa keberhasilan program JKN ini adalah keberhasilan semua pihak, karena JKN adalah milik kita bersama,” jelas Ali Ghufron.

Sementara itu, Tony Richard Samosir, Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI), yang ikut hadir juga dalam Konferensi Pers Virtual ini menjelaskan, untuk dapat hidup berkualitas dengan PGK, pasien harus dapat tetap berperan dalam kehidupan.

Peran dalam hidup diartikan sebagai kemampuan untuk terlibat dalam aktivitas hidup yang bermakna, antara lain bekerja, belajar, bertanggung jawab pada keluarga, berpergian, berolahraga, beraktivitas sosial dan berekreasi, dan lainnya.

Selain itu, dan juga harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan serta harus memahami mengenai konsekuensi dari pendampingan yang muncul akibat keputusan tersebut.

Dengan adanya pendekatan berbasis kekuatan ini, bertujuan untuk membangun ketahanan diantara-pasien PGK dengan meningkatkan hubungan sosial pasien.

“Hal ini dapat dicapai dengan misalnya kelompok penyakit ginjal dan memberikan dukungan berupa edukasi dan evaluasi berkala terhadap penyakitnya, dukungan moral antar sesama pasien,” ungkap Toni.

Hal ini tentu saja dapat meningkatkan kepercayaan diri pasien dalam membuat keputusan akan modalitas pengobatannya.

Selain itu, pengobatan terhadap aspek kejiwaan akibat penyakit ginjalnya seperti gangguan kecemasan, depresi, gangguan tidur, dan stres juga harus diberikan demi mengoptimalkan peran pasien dalam kehidupannya,” tutupnya.

Penulis: Dwi Kartika Sari

Tags : featured

Leave a Response