Health

Jangan Anggap Sepele, Tak Hanya Jantung Hipertensi Bisa Merusak Syaraf Otak dan Ginjal, Deteksi Sejak Dini!

puanpertiwi.com – Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan penyebab berbagai macam komplikasi kesehatan yang membahayakan nyawa.

Tentu saja, tim tenaga medis kesehatan berkolaborasi dengan pemerintah, komunitas, dan organisasi lainnya penting terus menghimbau kepada masyarakat untuk lebih meningkatkan kesadaran terhadap gaya hidup sehat, deteksi dini, dan pengendalian tekanan darah.

Dalam rangka Indonesian Society of Hypertension (InaSH) 18th Scientific Meeting, dr. Eka Harmeiwaty, Sp.S, Wakil Ketua InaSH, mengatakan, bahwa tanpa disadari hipertensi dapat merusak organ selama bertahun tahun sebelum ada gejala.

“Apabila tidak diobati hipertensi dapat menyebabkan disabilitas, kualitas hidup buruk, hingga kematian karena kerusakan organ target seperti otak, jantung dan ginjal,” kata dr. Eka, Jumat 23 Februari 2024, di Jakarta.

Menurutnya, pembuluh darah pada orang sehat bersifat lentur, kuat dan elastis, permukaannya bersih dan licin sehingga darah mengalir bebas dan lancar untuk mensuplai oksigen dan nutrien ke organ vital.

Tentang dampak hipertensi terhadap kerusakan susunan saraf, dr. Eka juga menjelaskan, bahwa hipertensi dapat menyebabkan Transient Ischemic Attack (TIA) atau stroke minor yang terjadi karena terganggunya aliran darah ke otak dalam waktu singkat akibat adanya penyumbatan di pembuluh darah.

Selain itu, hipertensi merupakan faktor risiko utama penyebab stroke. Menurut berbagai penelitian hipertensi ditemukan pada 60-70% kasus stroke.

Hipertensi akan menyebabkan kerusakan endotel dinding pembuluh darah arteri yang akan menginisiasi proses atherosklerosis.

Dinding pembuluh darah akan rusak dan mempermudah partikel untuk saling menempel yang akan membentuk plak.

Plak bisa bersifat tidak stabil dan sewaktu-waktu lepas menuju ke distal dan menyumbat di pembuluh darah yang lebih kecil.

Proses atherosklerosis juga akan menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah sehingga terjadi penyempitan lumen pembuluh darah.

Kedua kondisi ini akan menyebabkan aliran darah ke otak terganggu dan terjadilah stroke iskemik.

Selain menyebabkan penyumbatan aliran darah, hipertensi juga menyebabkan terjadinya perdarahan di otak.

Hipertensi akan menyebabkan lipohialonosis pembuluh darah arteri berukuran kecil, sehingga dindingnya menipis dan mudah pecah.

Selain itu hipertensi juga mengakibatkan gangguan kognitif dan demensia. Hipertensi merupakan faktor risiko terjadinya penurunan fungsi kognitif dan demensia termasuk penyakit Alzheimer.

Mekanisme terjadinya gangguan kognitif pada hipertensi sangat kompleks.

Hipertensi menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah, akibat berkurangnya aliran darah sehingga suplai oksigen dan nutrien tidak cukup, menurunkan neurotransmiter akan menyebabkan kerusakan sel neuron.

Pasien yang pernah mengalami stroke berisiko menjadi demensia yang dikenal dengan demensia vascular.

“Selain berdampak langsung kepada susunan saraf, hipertensi juga bisa terjadi akibat komplikasi hipertensi pada organ lain yang terjadi lebih dulu seperti atrial fibrilasi, infark miokard dan gagal jantung,” jelasnya.

Oleh karena itu, ia mengajak masyarakat untuk melakukan upaya preventif terhadap kerusakan saraf yang harus dilakukan pada pasien hipertensi adalah menurunkan tekanan darah sesuai target yang telah ditentukan serta mengontrol variasi kenaikan tekanan darah dalam waktu 24 jam, terutama di pagi hari dengan melakukan intervensi gaya hidup dan medikamentosa.

Hal yang harus diingat, bahwa faktor risiko stroke bukan hanya hipertensi, sering ditemukan faktor risiko lainnya seperti diabetes, obesitas, dislipidemia yang juga harus ditangani dengan benar.

Bila terjadi stroke, harus segera dibawa ke rumah sakit yang memiliki fasilitas untuk menangani stroke.
Pada kasus stroke iskemik akan dilakukan thrombolisis intravena (IVT) dalam tenggang waktu empat jam tiga puluh menit setelah onset (golden time).
Tatalaksana perdarahan otak ditentukan oleh luas dan volume perdarahan serta lokasi perdarahan.

“Pada kasus perdarahan yang kecil dilakukan tindakan konservatif, dan untuk perdarahan yang luas dibutuhkan tindakan operasi untuk mengevakuasi perdarahan dan bila diperlukan dipasang drainage (VP shunt),” ungkapnya.

la juga mengatakan, bahwa bagi pasien-pasien hipertensi yang mengalami gangguan kognitif dan demensia harus mendapat terapi khusus termasuk berbagai latihan dengan tujuan memperlambat penurunan fungsi dan memperbaiki kualitas hidupnya.

Sementara itu, dr. Djoko Wibisono, Sp,PD-KGH, Sekretaris Jenderal InaSH, mengatakan, bahwa penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah penyakit global yang prevalensinya tinggi.
Sekitar 1 dari 10 orang di dunia menderita PGK. PGK dikaitkan dengan peningkatan risiko semua penyebab kematian dan merupakan penyebab kematian nomor lima di dunia.
dr. Djoko menjelaskan, berdasarkan Riskesdas 2018 tentang prevalensi PGK di Indonesia 3,8 per 1000 penduduk atau 1.017.260 penduduk menderita PGK.

Dari total penduduk Indonesia yang menderita PGK, 19.3% diantaranya menjalani cuci darah (Hemodialisis), yaitu kurang lebih 196.332 penduduk.

“Meskipun beban PGK semakin meningkat secara global, PGK masih kurang terdiagnosis dikarenakan PGK stadium awal cenderung tidak bergejala,” jelas dr. Djoko

Untuk diketahui, secara global dan di Indonesia penyebab PGK tersering adalah Diabetes dan Hipertensi.

Maka setiap penyandang Hipertensi dan Diabetes perlu melakukan deteksi dini untuk mencegah PGK dengan melakukan pemeriksaan fungsi ginjal untuk mengetahui penurunan fungsi ginjal sejak dini dengan pemeriksaan darah dan urin.

Pemeriksaan darah dengan melihat kadar kreatinin dan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) untuk melihat fungsi ginjal.

“Pemeriksaan urine dengan melihat kadar albumin atau protein dengan pemeriksaan Urine Albumin Creatinin Ratio (UACR) untuk melihat kebocoran ginjal,” tambahnya.

Pada kesempatan yang sama, dr. Siska Suridanda Danny, Sp.JP(K) FIHA, PIC Konsensus Kardio mengatakan, bahwa hipertensi pada organ jantung merupakan kontributor utama terjadinya serangan jantung dan gagal jantung.

“Dua hal yang sering dianggap serupa namun sesungguhnya berbeda, namun keduanya merupakan penyebab kematian tertinggi di bidang kardiovaskular,” kata dr. Siska.

dr. Siska memaparkan, serangan jantung adalah suatu kondisi tersumbatnya pembuluh darah koroner (pembuluh yang memberi makan otot jantung) secara mendadak.

Proses ini umumnya dimulai dengan adanya faktor risiko kardiovaskular (antara lain hipertensi, diabetes melitus, kadar kolesterol tinggi, dan merokok) yang menyebabkan penumpukan lemak dan pengapuran di dinding pembuluh darah koroner.

Seiring dengan waktu, penumpukan ini menjadi semakin tebal, mengganggu aliran dan dapat tiba-tiba menimbulkan terhentinya aliran darah ke otot jantung jantung. Inilah yang kita sebut sebagai serangan jantung,” ungkapnya.

la juga mengatakan, gagal jantung merupakan kondisi ketidakmampuan jantung memompa darah ke seluruh tubuh akibat kelemahan otot jantung.

“Salah satu faktor risiko utama terjadinya hal ini adalah hipertensi” ungkapnya.

Tingginya tekanan darah di aorta dan arteri besar menyebabkan otot jantung harus bekerja ekstra keras untuk mempertahankan aliran darah ke seluruh tubuh.

Jika hal ini berlangsung terus menerus dalam jangka waktu lama, otot jantung akan mengalami penebalan, pelebaran serta gangguan fungsi pompa yang serius.

“Dalam menghadapi kerusakan organ akibat hipertensi, mencegah selalu lebih baik daripada mengobati,” jelas dr. Siska.

Sebagian besar komplikasi terkait hipertensi ini bersifat ireversibel, dalam arti jika sudah terjadi, tidak bisa diperbaiki kembali fungsinya dan akan rusak secara menetap.

Karenanya, tujuan terapi hipertensi bukanlah sekedar untuk menurunkan tekanan darah namun terutama untuk mencegah kerusakan organ.

Salah satu kendala dalam hal ini adalah fenomena hipertensi resisten, yakni hipertensi yang tidak tertangani walaupun telah menggunakan kombinasi tiga macam obat atau lebih.

Kelompok ini memiliki risiko kematian kardiovaskular yang tinggi sehingga harus mendapatkan perhatian lebih.

“Dalam dekade terakhir, telah dikembangkan beberapa jenis terapi, baik obat maupun alat, yang ditujukan untuk penanganan hipertensi resisten sehingga ini akan kami angkat dalam konsensus nasional berjudul Panduan Pengenalan dan Tatalaksana Hipertensi Resisten di Indonesia 2024,” tutupnya.

 

Penulis: Dwi Kartika Sari

Tags : featured

Leave a Response