Culture

Camat Rembang ”Kawin Kontrak karena Faktor Ekonomi”

Surabaya, Puanpertiwi.com

Sejak merebak kasus lelang keperawanan perempuan yang cukup menghebohkan pemberitaan akhir-akhir ini,  kabupaten Pasuruan Jawa Timur seolah kembali jadi sorotan. Pasalnya, Rembang salah satu dari 24 kecamatan yagn ada di wilayah Tapal Kuda Jawa Timur itu pusatnya ”kawin kontrak” atau nikah siri

Kecamatan Rembang sendiri membawahi 17 desa dengan penduduk dari tiga suku. Masing-masing Jawa, Madura dan Tengger. Makanya, bahasa yang dipakai juga ada minimal 3 bahasa itu dengan 1 bahasa ibu, bahasa Indonesia.

Tentang adanya pusat ”kawin kontrak” nikah siri, camat Rembang Iyo Azhari tidak menampik. ”Itu dulu,” katanya ketika dikonfirmasi oleh puanpertiwi melalui ponselnya, Senin.

Dikatakan, saat ini, perempuan yang jadi objek ”kawin kontrak” juga sudah berkurang jauh dibanding sebelumnya. Hal itu disebabkan oleh gencarnya program pembangunan dalam pemberdayaan perempuan oleh Bupati Irsyad Yusuf. Mulai dari pelatihan ketrampilan untuk perempuan untuk menaikkan taraf ekonomi. Juga berbagai sosialisasi pemberdayaan perempuan dalam menopang ekonomi keluarga.

”Jujur saja, mereka itu terpaksa melakukan kawin kontrak karena faktor ekonomi. Tidak ada lainnya,” kata Iyo mengenai fenomena warganya melakukan nikah siri atau kawin kontrak dengan lelaki pendatang.

Saat ini, katanya lebih lanjut, meski belum melakukan pendataan secara rinci, ekonomi warga di lima desa mulai menggeliat berubah. Seiring dengan itu, budaya kawin kontrak juga sudah tidak sepupuler dulu lagi. Para wanita pada lima desa banyak bekerja sebagai perajin dan petani bunga. Itupun perkebunannya juga milik pribadi. Bukan milik orang lain. Selain itu, para wanitanya juga banyak yang berkecimpung di dunia makanan olahan.  Maklumlah, alam di kecamatan Rembang cukup subur. Kaya dengan hasil pertanian.  Mulai dari mangga, srikaya hingga ketela pohon dan ketela rambat serta aneka bunga hias.

”Alhamdulillah, sudah berubah jauh. Sangat maju sekarang. Banyak yang jadi petani bunga sedap malam karena harganya cukup mejanjikan di kota besar, seperti Surabaya dan Jakarta,” terangnya mengenai gaya hidup warganya yang sebelum menjadi objek kawin kontrak.

Selain itu, sosialisasi dan pendekatan secara agama terus dilakukan oleh SKPD Pemkab Pasuruan. Sehingga, warga yang tadinya hanya mengandalkan mahar kawin kontrak untuk hidup beralih jadi petani dan perajin. (ita)

Leave a Response