Health

Bayer Dorong Peningkatan Terapi Jangka Panjang Endometriosis dengan Dienogest, Tingkatkan Kualitas Hidup Pasien

puanpertiwi.com – Endometriosis dinyatakan World Health Organization (WHO) sebagai penyakit kronis.

Hingga kini, penundaan diagnosa Endometriosis diperkirakan mencapai 6-8 tahun.

Untuk diketahui, Endometriosis adalah Kista Coklat yang merupakan gangguan kesehatan yang terjadi karena adanya pertumbuhan jaringan tidak normal dari endometrium pada bagian luar dinding rahim.

Pertumbuhan jaringan endometrium yang tidak normal ini dapat terjadi pada ovarium, vagina, saluran kemih, hingga usus.

Endometriosis ini merupakan penyakit sistem reproduksi wanita yang serius karena dapat menyebabkan masalah-masalah kesuburan, seperti nyeri haid, nyeri saat berhubungan seksual, hingga munculnya benjolan pada perut bagian bawah.

Endometriosis adalah penyakit jangka panjang dengan tingkat kekambuhan yang tinggi sebesar 67%.

Berdasarkan konsesus Perhimpunan Fertilitas Endokrinologi Reproduksi Indonesia (HIFERI) tahun 2023, terapi hormonal Dienogest jangka panjang menjadi rekomendasi kuat dalam menangani Endometriosis.

Penelitian menunjukkan Dienogest mampu mengurangi lesi dan nyeri (nyeri pelvis dan nyeri haid) yang berkaitan dengan endometriosis serta meningkatkan kualitas hidup pasien.

Di samping itu, Dienogest efektif dalam menjaga cadangan ovarium.

Namun demikian, kepatuhan terhadap terapi ini sangat diperlukan agar pasien dapat memperoleh manfaat pengobatan dalam jangka panjang.

Oleh sebab itu, Bayer mendorong pasien agar patuh terhadap pengobatan ini dan berkonsultasi kepada dokter spesialis kebidanan dan kandungan secara teratur.

Bayer menghimbau kepada masyarakat untuk menyadari akan pentingnya deteksi dini dan kepatuhan pasien dalam terapi jangka panjang untuk meningkatkan kualitas hidup.

Pasalnya, Endometriosis menyerang 10% perempuan usia produktif di seluruh dunia dan terus menjadi kasus serius di tingkat Global dan Regional.

Endometriosis sendiri merupakan penyakit kronis progresif yang menyebabkan nyeri dan seringkali menyakitkan, di mana jaringan yang mirip dengan lapisan dalam rahim tumbuh di luar rahim.

Jaringan endometriosis bersifat seperti lapisan di dalam rahim, jaringan tersebut bisa menebal, rusak, dan berdarah setiap kali siklus menstruasi.

Jaringan ini tumbuh di tempat yang bukan semestinya sehingga menimbulkan rasa sakit yang berlebihan.

Endometriosis termasuk penyakit dengan kekambuhan tinggi, sehingga memerlukan terapi jangka panjang untuk menanganinya.

Selain itu, juga diperlukan adanya diagnosa dini agar penyembuhan lebih cepat dan lancar.

Jeff Lai, Country Division Head Pharmaceuticals Bayer Indonesia dalam sambutannya menjelaskan, terkait sejalan dengan visi Bayer.

“Health for All, Hunger for None, kami berkomitmen meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup pasien, salah satunya bagi pasien Endometriosis. Data menunjukkan, Endometriosis menyerang lebih banyak perempuan di Asia daripada negara-negara barat dan berdampak negatif bagi kesehatan serta kualitas hidup perempuan,” kata Jeff Lai, dalam konferensi pers, Jumat, 8 Maret 2024, di Jakarta.

Oleh sebab itu, pihaknya melihat bahwa pentingnya untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan bagi masyarakat, khususnya bagi perempuan Indonesia, terkait Endometriosis serta terapi yang paling tepat

“Bayer berupaya menghadirkan penelitian dan pengembangan pilihan pengobatan baru untuk berbagai penyakit termasuk penyakit endometriosis,” jelasnya.

Dalam keterangannya, bahwa Dienogest dari Bayer merupakan terapi hormonal yang efektif dan inovatif, yang mampu menghilangkan rasa nyeri jika dijalani dengan komitmen jangka panjang.

Hal ini merupakan bentuk nyata dari komitmen Bayer untuk membantu pasien Endometriosis di Indonesia.

“Di samping itu, kami juga senantiasa melakukan edukasi melalui media agar kesadaran perempuan Indonesia semakin meningkat, sehingga Endometriosis pun bisa dideteksi sedini mungkin,” tambah Jeff.

Dalam kesempatan yang sama, Dr. dr. Kanadi Sumapraja, Sp. OG, Subsp. FER, MSc., Spesialis Kebidanan dan Kandungan serta staf pengajar FKUI-RSCM menjelaskan, bahwa Endometriosis masih menjadi masalah yang besar khususnya bagi perempuan di Indonesia.

Salah satu penyebabnya adalah keterlambatan diagnosa, dimana data menunjukkan adanya keterlambatan diagnosa 6-8 tahun.

Padahal, setidaknya 5 dari 100 perempuan usia produktif di Indonesia, serta 1 dari 10 perempuan di Asia, mengalami Endometriosis. Namun, banyak dari mereka yang baru mengetahui dirinya mengidap Endometriosis, sehingga datang saat kondisi sudah lumayan parah.

“Endometriosis, menyebabkan tingginya angka morbiditas, ketidakhadiran, dan biaya sosial ekonomi, juga berpengaruh pada kualitas hidup, pendidikan, tingkat kepercayaan diri dan kesuburan pada perempuan (fertilitas),” kata Dr. Kanadi.

Selain dari pada itu, menurut dr. Kanadi, Endometriosis sudah pasti menimbulkan beban serius bagi kesehatan fisik dan mental perempuan, sehingga kerap menghambat produktivitas perempuan dan keharmonisan keluarga.

Oleh karena itu mengenali tanda-tanda Endometriosis sejak dini sangat penting dalam memperlancar terapi, serta dibutuhkan komitmen tinggi dan kepatuhan untuk menjalani pengobatan Endometriosis yang sangat kompleks.

“Oleh sebab itu, perlu dipahami beberapa tanda dan gejala Endometriosis. Gejala utamanya adalah nyeri panggul yang dikaitkan dengan periode menstruasi,” papar Dr. Kanadi.

Nyeri ini akan meningkat seiring berjalannya waktu jika tidak mendapat pengobatan yang tepat.

Selain itu, tanda dan gejala yang juga perlu diperhatikan seperti nyeri pelvik kronik, dispareunia dalam, keluhan intestinal siklik, dan kurang subur.

“Gejala dapat timbul pada 40% pasien, dan rasa nyeri bervariasi tergantung pada tempat terjadinya endometriosis,” jelasnya.

Nyeri yang dimaksud dalam Endometriosis dapat berupa nyeri saat haid (dismenorea), nyeri saat berhubungan seksual (dispareunia), nyeri saat berkemih (disuria), nyeri saat buang air besar (diskezia), nyeri perut bagian bawah, serta nyeri panggul.

Umumnya pasien endometriosis mengeluhkan nyeri berdenyut dan menjalar hingga ke tungkai, serta nyeri pada rektum dan adanya sensasi perut yang ditarik ke bawah.

Endometriosis juga dikelompokan menjadi endometriosis peritoneum (superfisial), kista endometriosis (endometrioma), serta deep endometriosis (lesi susukan dalam).

“Mereka yang memiliki faktor risiko seperti belum pernah melahirkan, menstruasi usia dini, menopause di usia lanjut, siklus menstruasi yang pendek yaitu maksimal 27 hari, memiliki tingkat estrogen yang tinggi, dan punya kelainan saluran produksi, perlu melakukan pemeriksaan rutin terkait Endometriosis,” ungkap Dr. Kanadi.

Dr. Kanadi juga menambahkan, hal ini karena mereka memiliki risiko tinggi untuk mengalami Endometriosis di kemudian hari.

“Karena jika tidak diobati dengan tepat, perempuan akan berisiko mengalami komplikasi seperti infertilitas dan kanker ovarium,” jelas Dr. Kanadi.

Pada kondisi seseorang yang sudah mengidap Endometriosis, maka kunci keberhasilan pengobatannya yaitu kepatuhan.

“Apa yang dimaksud kepatuhan? Kepatuhan bisa digambarkan sebagai tingkatan perilaku pasien yang menggambarkan sejauh mana upaya mereka dalam mematuhi instruksi dan menyelesaikan pengobatan yang direkomendasikan oleh tenaga medis,” tambah Dr. Kanadi.

Menurutnya, sampai saat ini, kepatuhan masih menjadi tantangan utama, karena pengobatan Endometriosis (terapi hormonal) merupakan mengobatan jangka panjang sehingga butuh komitmen dan keteraturan pasien.

Sering ditemukan pasien yang berhenti di tengah jalan karena menganggap tidak ada perubahan pada dirinya.

Hal ini yang kemudian membuat pengobatan tidak efektif dan tidak berhasil. Mereka yang pengobatannya tidak patuh (on-off) akan lebih sering mengalami kekambuhan dan rasa nyeri akan kembali dirasakan.

“Maka, yang perlu dilakukan oleh Dokter dan support system mereka adalah terus memberikan afirmasi positif dan edukasi terkait pentingnya komitmen menjalankan terapi dengan benar,” kata Dr. Kanadi.

Endometriosis dikatakan sebagai penyakit yang bergantung pada estrogen sehingga pengobatan yang diberikan salah satu pilihannya adalah menggunakan obat yang menekan hormon.

Saat ini, terapi progestin ditanyakan sebagai terapi lini pertama untuk Endometriosis. Salah satu jenis progestin adalah Dienogest.

Dienogest telah diketahui mampu mengurangi nyeri pelvis dan nyeri haid terkait endometriosis dengan dosis harian 2 mg, yang tentunya sangat mampu memperbaiki kualitas hidup penderitanya.

“Pada HIFERI Konsensus Tata Laksana Endometriosis 2023, terapi dengan Dienogest merupakan pilihan atau rekomendasi kuat dalam terapi nyeri endometriosis,” jelas Dr. Kanadi.

“Hal ini karena profil keamanan dan efektivitasnya sebagai pengobatan lini pertama. Namun pengobatan hormonal seperti ini efektif, jika ada kepatuhan dalam pengobatan jangka panjang sehingga hasilnya akan lebih baik,” tambahnya.

Sementara itu, Dr. Dewi Muliatin Santoso, Head of Medical Dept. Pharmaceuticals Bayer Indonesia juga menjelaskan, bahwa Bayer berkomitmen secara berkelanjutan dalam penanganan Endometriosis di Indonesia melalui penyediaan akses ke pengobatan Endometriosis dan senantiasa memberikan edukasi yang bermanfaat bagi masyarakat dan pasien.

“Edukasi yang tepat dan terus menerus merupakan kunci untuk mendorong kepatuhan terapi hormonal jangka panjang,” kata Dr. Dewi.

Dr. Dewi juga menjelaskan, terapi hormonal Dienogest sangat efektif bagi penderita Endometriosis.

“Dienogest dari Bayer merupakan bentuk dari komitmen kami untuk menghadirkan obat inovatif untuk Endometriosis,” ujarnya.

Menurutnya, berdasarkan konsensus HIFERI 2023, Dienogest merupakan obat inovatif yang efektif dan aman yang direkomendasikan para Dokter untuk terapi Endometriosis.

Terapi hormonal jangka panjang terbukti efektif dalam mengelola gejala endometriosis, mencegah progresivitas penyakit, dan meningkatkan kualitas hidup.

Data menunjukkan adanya pengurangan nyeri sebesar 40% dalam 4 minggu pemakaian Dienogest, serta menunjukkan peningkatan nyata dalam ukuran kualitas hidup spesifik (SF-36) setelah 24 minggu pengobatan,” tambahnya.

la juga menambahkan, penelitian pada 29 pasien yang menjalani terapi Dienogest, lebih dari 80% pasien yang sel endometriosisinya hilang atau minimal pada minggu ke-24 pengobatannya.

“Real world Evidence jangka panjang menunjukkan Dienogest mampu mempertahankan VAS rendah (Visual Analog Scale/parameter untuk mengukur derajat nyeri pada endometriosis) selama 5 tahun,” papar Dr. Dewi.

Kemudian, Dr. Dewi menambahkan, studi ENVISIOeN juga membuktikan bahwa pola pendarahan yang dialami pasien berkurang seiring berjalannya waktu.

“Ini yang membuat kami berupaya menyebarkan edukasi terkait kepatuhan berobat, karena hasilnya akan berdampak positif jika pengobatan dilakukan dengan benar,” jelas Dr. Dewi.

“Kami juga menyadari bahwa selain pengobatan yang tepat, keberadaan support system dalam komunitas juga penting untuk membantu pasien dalam menjalankan pengobatan mereka. Oleh sebab itu, kami mendukung patient empowerment dan menjalin kerja sama dengan komunitas Endometriosis Indonesia,” tambahnya.

Pihaknya berupaya terus meningkatkan kesadaran dan edukasi baik untuk mencegah Endometriosis maupun untuk mengobatinya jika sudah terjadi, lewat kampanye Don’t Live with the Pain dan pembuatan patient booklet.

Terkait pentingnya support system, Wenny Aurelia, selaku Founder Endometriosis Indonesia menyatakan, bahwa Endometriosis adalah penyakit yang membutuhkan kepatuhan pengobatan dan perjuangan jangka panjang bagi penderitanya.

Menurutnya, pengobatan secara jangka panjang kerap membuat pasien menghentikan terapi di tengah jalan.

“Dalam menjalankan terapinya, pasien tentu butuh dukungan dari keluarga, Dokter dan sesama pasien sehingga mereka tidak merasa sendirian dalam berjuang melawan Endometriosis,” kata Wenny.

Oleh sebab itu, ia menambahkan, dengan adanya komunitas Endometriosis Indonesia sejak tahun 2015 dapat menjadi wadah berdiskusi, saling memberikan informasi yang benar tentang Endometriosis, dan paling penting sebagai wadah untuk saling mendukung antar pasien.

“Kami juga senantiasa bekerja sama dengan berbagai pihak termasuk Bayer Indonesia dan para Dokter ahli kesehatan. terkait untuk memberikan edukasi dan dukungan bagi pasien. Hal ini kami harapkan bisa menjadi upaya yang tepat untuk meningkatkan kualitas hidup pasien” tutupnya.

Penulis: Dwi Kartika Sari

Tags : featured

Leave a Response