Waspada Silent Killer Hipertensi pada Kehamilan! InaSH Galakkan Edukasi: Harus Mendapatkan Pengobatan yang Efektif
puanpertiwi.com – Insidensi hipertensi merupakan silent killer yang masih terus bertambah. Bahkan, bisa terjadi kepada semua usia, mulai dari anak-anak, remaja, usia produktif dan ibu hamil.
Hipertensi dalam kehamilan misalnya, tidak hanya meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas bagi ibu, tetapi juga dapat menyebabkan komplikasi serius seperti preeklamsia, eklamsia, gangguan pertumbuhan janin, bahkan kematian ibu maupun janin.
Dalam beberapa kasus, hipertensi pada kehamilan juga dapat menyebabkan kelahiran prematur dan berat badan lahir rendah, yang keduanya tentu memiliki dampak jangka panjang terhadap kesehatan anak.
Oleh sebab itu, kolaborasi berkesinambungan antara masyarakat, pemerintah, tenaga kesehatan, komunitas, dan organisasi lainnya sangatlah dibutuhkan untuk memerangi kondisi hipertensi, serta mencapai tujuan pengendalian hipertensi di Indonesia.
Melakukan pencegahan primordial terhadap hipertensi secara dini juga menjadi upaya dalam mengendalikan dan menurunkan angka hipertensi di Indonesia.
InaSH, bekerja sama dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), setiap tahun melakukan edukasi tentang hipertensi dan tatalaksananya kepada para dokter, masyarakat, serta media massa.
Beberapa upaya yang dilakukan InaSH untuk mengatasi hipertensi di Indonesia.
Di antaranya, menerbitkan buku panduan Penatalaksanaan Hipertensi pada periode Peripartum, menggalakkan edukasi mengenai bahaya hipertensi, menggelar pertemuan ilmiah hipertensi tingkat Asia Pasifik, melakukan workshop untuk para tenaga media, dan lain sebagainya.
dr. Eka Harmeiwaty, Sp.N, Ketua InaSH, dalam Press Conference ‘The 19th Scientific Meeting Indonesian Society of Hypertension (InaSH) 2025’ mengatakan, pengendalian tekanan sangat penting untuk menghindari komplikasi hipertensi seperti stroke, penyakit jantung koroner, gagal jantung, gagal ginjal, kebutaan dan kepikunan.
“Menurut RISKESDAS 2018 hanya 1 diantara 3 pasien hipertensi yang mencapai target pengobatan. Angka ini tidak jauh berbeda dengan hasil survei MMM yang dilakukan oleh PERHI, ditemukan target pengobatan hipertensi tercapai pada hanya 38,2%,” jelas dr. Eka.
dr. Eka juga mengatakan, untuk mencapai target pengendalian hipeternsi 50% maka 24,3 juta lebih penduduk dengan hipertensi harus mendapatkan pengobatan yang efektif.
la menambahkan, WHO pernah memperkirakan bahwa pada tahun 2023 ada 1,28 milyar penduduk dunia berusia 30-79 tahun adalah hipertensi dan hampir 2/3-nya hidup di negara berkembang, termasuk di Indonesia.
Kurang dari separuhnya (42%) terdiagnosis dan mendapatkan pengobatan, namun hanya 21% yang mencapai target pengobatan.
Hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) Kementrian Kesehatan menunjukan prevalensi hipertensi di Indonesia menurun menjadi 30,8% dibandingkan hasil RISKESDAS 2018 (34,1%).
“Kami selalu menghimbau untuk memiliki gaya hidup sehat karena hipertensi bisa dipicu banyak hal. Merokok, obesitas, dan konsumsi garam berlebih merupakan faktor risiko utama hipertensi di Indonesia selain faktor genetika. Namun sayangnya, hingga saat ini belum ada kebijakan dari pemerintah secara eksplisit untuk larangan merokok,” papar dr. Eka.
“Polusi udara, lingkungan yang tidak sehat dan kebisingan juga dapat menyebabkan hipertensi,” tambahnya.
dr. Eka juga menegaskan, problema pengendalian hipertensi di Indonesia tidak berbeda dengan negara-negara di Asia Pasifik lainnya.
Antara lain, tingginya kasus hipertensi yang tidak terdiagnosa, kepatuhan berobat masih rendah, kurangnya pengetahuan masyarakat tentang risiko atau komplikasi hipertensi, konsumsi makanan dengan kadar garam yang tinggi.
Selain itu akses ke fasilitas kesehatan, faktor kultural, sosial-ekonomi, dan kurangnya promosi untuk hidup sehat menyebabkan tingginya beban negara untuk menanggulangi komplikasi penyakit kardiovaskular akibat hipertensi.
“Clinical inertia atau kurangnya intensifikasi pengobatan sesuai pedoman oleh tenaga medis juga mempengaruhi pencapaian target penurunan tekanan darah,” jelas dr. Eka.
Masalah hipertensi perlu dilihat secara genomik, artinya materi genetik seseorang juga perlu ditelusuri sehingga kita bisa mencegah hipertensi jika memang berpotensi tinggi.
Menurut dr. Eka, penelitian menunjukan bahwa 60,1% hipertensi berhubungan dengan faktor genetik dan selebihnya berkaitan dengan lingkungan, seperti merokok, kondisi obesitas dan konsumsi garam berlebih.
Belakangan ini tes genomic juga semakin populer dalam dunia kesehatan, sebagai salah satu inovasi yang membantu mendeteksi dini penyakit tertentu termasuk hipertensi.
Genomik adalah studi tentang profil gen yang ada di dalam DNA manusia. Genomik mempelajari tentang fungsi gen, perkembangan, serta respons atau kinerjanya di dalam tubuh yang berefek terhadap kesehatan individu.
“Tes genomik dapat mengidentifikasi gen spesifik yang berhubungan dengan hipertensi sehingga memungkinkan untuk melakukan upaya pencegahan dan pengobatan yang bersifat personal,” jelas dr. Eka.
Oleh sebab itu, dr. Eka menghimbau bahwa skrining hipertensi untuk masyarakat perlu digalakan dalam menemukan kasus hipertensi lebih dini, sehingga dapat dilakukan pengobatan yang paling tepat.
Program ini, sekali lagi, tentu melibatkan kelompok masyarakat atau komunitas dan disertai dengan upaya promotif untuk meningkatkan kesadaran masyarakat.
Jaminan Kesehatan National merupakan sebuah cara yang efektif untuk mengendalikan hipertensi di Indonesia namun harus dilengkapi dengan penguatan di pelayanan primer, seperti tersedianya pedoman hipertensi berbasis bukti terkini dan disesuaikan dengan kondisi di Indonesia.
Selain itu perlu pelatihan bagi tenaga kesehatan, sistem pengadaan dan distribusi obat yang dikelola dengan baik dan mendukung ketersediaan obat sesuai pedoman.
Program ini hendaknya dievaluasi secara berkala baik di komunitas dan pusat-pusat pelayanan kesehatan untuk kepastian akuntabilitas dan dapat menstimulasi perbaikan program sehingga tetap terus berjalan.
Pada kesempatan yang sama, Prof. Dr. dr. Teguh A.S Ranakusuma, Sp.N(K), Adboard InaSH mengatakan, salah satu yang perlu diperhatikan masyarakat untuk mencegah hipertensi adalah pencegahan primordial atau pencegahan faktor risiko yang menyebabkan peningkatan tekanan darah (TD) yang tidak normal di antara individu.
“Pencegahan primordial tekanan darah abnormal pada masa kanak-kanak, jika efektif, dapat menurunkan tingkat hipertensi pada usia dewasa muda dan mungkin mengurangi tingkat penyakit kardiovaskular terkait hipertensi,” kata Prof. Teguh.
Prof. Teguh juga menambahkan, sebagian besar kondisi tekanan darah tinggi, terutama pada kelompok hipertensi primer tidak memiliki gejala yang spesifik.
Hipertensi sangat berbahaya karena progresivitas penyakit akan terus berlangsung dengan komplikasi ke berbagai organ, namun sebagian besar orang tidak merasakan gejala apapun (silent killer).
Gejala baru akan muncul jika sudah timbul komplikasi yang berat, antara lain sakit kepala atau pusing, rasa mudah lelah saat aktivitas, nyeri dada, gelisah, penglihatan buram, mimisan, bahkan penurunan kesadaran.
“Namun demikian, hipertensi dapat dicegah jika dapat dikelola dengan baik yang berdampak pada peningkatan kualitas hidup. Hipertensi yang terkelola dengan baik dapat mencegah dan menurunkan risiko kesakitan, komplikasi, bahkan risiko kematian dini,” jelasnya.
la mengatakan, pengendalian hipertensi merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam pengendalian Penyakit Tidak Menular.
Keberhasilan program pengendalian Hipertensi ditentukan oleh adanya kebijakan, strategi, dan komitmen nasional dalam pengendalian penyakit tersebut serta kerjasama dengan berbagai pihak terkait serta didukung oleh sumberdaya yang memadai.
“Oleh karena itu, kolaborasi berkesinambungan antara pemerintah, komunitas, dan organisasi lainnya penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, agar tujuan pengendalian hipertensi di Indonesia dapat tercapai,” paparnya.
Selain itu, Prof. Teguh mengatakan, salah satu upaya yang harus dilakukan untuk mencegah dan mengendalikan hipertensi adalah merubah cara berpikir masyarakat dari cara berpikir kuratif menjadi preventif yaitu dengan melakukan pencegahan penyakit.
Artinya, yang sangat penting untuk dilakukan adalah melakukan berbagai upaya preventif, bahkan untuk mencegah hipertensi terjadi, terutama bagi orang-orang dengan risiko tinggi mengalami hipertensi.
Seperti usia diatas 40 tahun, obesitas, diabetes, kolesterol tinggi, riwayat keluarga dengan hipertensi, ada gangguan ginjal, dst.
Gaya hidup sehat dan deteksi dini perlu menjadi basis untuk pengendalian tekanan darah, serta mengurangi beban ekonomi yang ditimbulkan.
“Hipertensi yang tidak dikendalikan dengan baik dapat mengakibatkan kerusakan organ seperti otak, jantung dan ginjal yang menyebabkan disabilitas, kualitas hidup buruk, bahkan kematian,” jelasnya.
Dalam hipertensi terdapat konsep Rules of Halves.
Prof. Teguh juga menjelaskan, pengertian secara umum adalah sekitar separuh orang yang menderita hipertensi tidak sadar bahwa mereka mengalami peningkatan tekanan darah, dan mereka yang menyadari memiliki hipertensi, sebagian tidak mendapat pengobatan, serta dari mereka yang mendapatkan pengobatan, sebagian tidak mencapai target keterkontrolan tekanan darah.
Hal ini menggaris bawahi bahwa hanya sebagian kecil masyarakat dengan hipertensi yang tekanan darahnya tertangani dengan baik.
Rules of Halves ini kembali mengingatkan kita bahwa terdapat kesenjangan dalam pengelolaan hipertensi, baik dari sisi diagnosis, pengobatan, dan kontrol tekanan darah, serta menekankan pentingnya upaya untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman serta strategi dalam penatalaksanaan hipertensi.
“Dengan memahami konsep Rules of Halves dengan baik maka tenaga kesehatan diharapkan dapat memberikan prioritas terhadap upaya skrining tekanan darah rutin dan edukasi kepada pasien tentang identifikasi dan pengelolaan hipertensi yang efektif,” jelas Prof. Teguh.
dr. BRM. Ario Soeryo Kuncoro, Sp.JP(K), FIHA, Sekjen InaSH juga menyatakan, hipertensi bukan hanya peperangan bagi orang dewasa ataupun lansia.
Tidak jarang, dalam praktik dokter sehari-hari, hipertensi juga bisa ditemui pada pasien anak-anak, remaja, usia produktif, hingga ibu hamil.
“Hipertensi pada anak dan remaja merupakan masalah kesehatan yang perlu kita perangi, karena insidensi, tingkat morbiditas, dan tingkat mortalitasnya semakin substansial. Peningkatan angka kejadian hipertensi pada anak dan remaja dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain peningkatan kejadian obesitas, anak kurang beraktivitas, terlalu banyak bermain gadget, asupan makanan yang tinggi kalori, tinggi garam,” jelas dr. BRM. Ario.
Menurutnya, bagi remaja, konsumsi minuman yang mengandung alkohol dan kafein, kebiasaan merokok, stres mental, dan kurang tidur, juga memicu hipertensi.
“Jika sudah terkena hipertensi saat usia muda, maka sampai dewasa mereka akan menjalani hidup dengan pengobatan hipertensi, serta memperbesar risiko penyakit kardiovaskular pada masa dewasa,” lanjutnya.
dr. BRM. Ario juga memaparkan, batasan tekanan darah normal pada anak, berbeda-beda untuk setiap kelompok umur, jenis kelamin, dan tinggi badan anak.
Hal ini berbeda dengan dewasa yang menggunakan satu batasan tekanan darah normal untuk semua umur, jenis kelamin, dan ukuran tubuh.
Idealnya, mulai dari usia 3 tahun, anak bisa mulai menjalani pemeriksaan tekanan darah, setidaknya setahun sekali, seperti halnya pengukuran berat dan tinggi badan yang perlu dilakukan pada setiap anak secara regular.
“Pada anak-anak dengan riwayat lahir prematur, berat lahir kurang dari 2500 gram, atau riwayat dirawat di ruang perawatan intensif/ICU, memerlukan pemeriksaan tekanan darah lebih dini lagi,” ujarnya.
Sementara hipertensi pada usia muda atau usia produktif mempengaruhi 1 dari 8 orang dewasa berusia antara 20 dan 40 tahun.
Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 mencatat prevalensi hipertensi berdasarkan hasil pengukuran tensimeter sebesar 10,7% pada kelompok usia 18-24 tahun dan 17,4% pada kelompok 25-34 tahun.
Namun data SKI 2023 juga menuliskan bahwa berdasarkan diagnosis dokter kelompok umur 18-24 prevalensi hipertensi sebesar 0,4% dan kelompok umur 25-34 sebesar 1,8%.
Kesenjangan antara angka kejadian berdasarkan tensimeter dan diagnosis dokter perlu menjadi perhatian.
Ini memunculkan dugaan bahwa banyak anak muda yang kurang aware terhadap indikasi dari hipertensi, sehingga tidak melanjutkan pengobatan ke dokter meskipun angka tensimeternya tinggi.
“Hipertensi pada usia muda perlu menjadi perhatian khusus, karena seperti diketahui, hipertensi tidak bisa disembuhkan total, tetapi hany dapat dikontrol. Jika sudah menderita hipertensi di usia muda, maka akan terjadi penurunan kualitas hidup saat dewasa hingga lansia. Namun, jika memang sudah terjadi, maka kejadiannya bisa diatasi dengan tetap menerapkan gaya hidup sehat, mengonsumsi obat-obatan secara patuh, dan melakukan pemantauan rutin,” tambahnya.
dr. Ni Made Hustrini, Sp. P.D, Subsp. G.H. (K), Ketua Panitia dan Ketua Tim Buku Panduan Penatalaksanaan Hipertensi Peripartum 2025 menjelaskan, ‘The 19th Annual Scientific Meeting Indonesian Society of Hypertension (InaSH) 2025’ yang akan diadakan pada tanggal 21-23 Februari 2025 di Jakarta, mengusung tema ‘Hypertension Control and Prevention of Cerebro-Cardio-Renovascular Disease through Multidisciplinary Collaboration’.
Selain menghadirkan pembicara pakar dari Indonesia, acara ini juga akan menghadirkan pembicara dari luar negeri, seperti President International Society of Hypertension (Prof. George Stergio, MD), Deputy Pesident HOPE Asia Network (Prof. Jiguang Wang, MD), European Society of Hypertension/International Society of Hypertension (Prof. Claudio Borghi, MD), Korean Society of Hypertension (Prof. Hae Young Lee, MD), dan dari Asia Pacific Society of Hypertension (Prof. Teo Boon Wee, MD).
Dokter yang biasa dipanggil dengan nama dr. Kum menjelaskan, penemuan atau inovasi baru dalam pertemuan ilmiah kali ini diantaranya meliputi pengembangan machine learning models untuk deteksi dini hipertensi serta monitoring tekanan darah, inovasi alat pengukur tekanan darah tanpa manset (cuffless device) yang berguna untuk monitoring tekanan darah diluar klinik, hingga pengembangan strategi multidisiplin untuk pengendalian tekanan darah melalui jalur inflamasi dengan menjaga keseimbangan mikrobiota usus.
Selain itu, yang tak kalah penting adalah peluncuran buku Konsensus INASH 2025 mengenai penatalaksanan hipertensi pada periode peripartum 2025.
Konsensus InaSH 2025 ini menggarisbawahi tentang upaya meningkatkan pengetahuan dan wawasan para tenaga kesehatan akan bahaya hipertensi peripartum dengan berbagai konsekuensi terhadap kesehatan ibu dan janin selama kehamilan dan juga jangka panjang.
Tentang hipetensi pada Peripartum, WHO melaporkan bahwa sekitar 80% kematian ibu, yang diklasifikasikan sebagai kematian langsung terkait kehamilan, disebabkan oleh lima penyebab, yaitu perdarahan postpartum (25%), preeklamsia dan eklamsia (20%), abortus (13%), dan penyebab lainnya (7%).
Preeklamsia/eklamsia, atau secara keseluruhan adalah hipertensi pada periode peripartum, merupakan salah satu penyebab kematian ibu tertinggi di Indonesia.
Prevalensi global hipertensi dalam kehamilan diperkirakan sekitar 10-15%, sementara preeklamsia memengaruhi 2-8% dari semua kehamilan.
Hipertensi selama periode kehamilan berkaitan erat dengan luaran kelahiran yang buruk, termasuk gangguan fungsi organ (gangguan ginjal, gagal jantung, bahkan edema paru) serta memicu terjadinya sindrom HELLP (hemolysis, elevated liver enzymes, and low platelet count).
Selain itu, gangguan aliran darah ke plasenta akibat tekanan darah tinggi pada ibu dapat mengurangi suplai oksigen dan nutrisi ke janin, sehingga janin berisiko untuk mengalami gangguan pertumbuhan intrauterin, berat badan lahir rendah, dan kelahiran prematur.
dr. Kum juga mengatakan, preeklamsia telah diketahui memiliki dampak yang besar terhadap kesehatan ibu ataupun bayi di masa depan kehidupannya.
Sang ibu dapat menderita penyakit kardiovaskular, hipertensi kronik, penyakit jantung koroner, gagal jantung, demensia vaskular, kematian akibat kardiovaskular, stroke, penyakit ginjal kronik hingga gagal ginjal, diabetes, sindrom metabolik dan hipotiroidisme.
Adapun pada bayi dapat menyebabkan penyakit kardiovaskular, stroke, hipertensi kronik, obesitas dan berkurangnya fungsi kognitif.
Hal ini mencerminkan bahwa upaya penanggulangan hipertensi peripartum merupakan pengelolaan yang kompleks dan melibatkan berbagai disiplin ilmu.
“Untuk itu, pemahaman terhadap kompleksitas kelainan ini, keseragaman dalam diagnosis dan juga tatalaksana hipertensi dalam kehamilan, mulai dari fasilitas kesehatan tingkat pertama hingga lanjut, sangat diperlukan untuk optimalisasi luaran akibat hipertensi dalam kehamilan,” jelas dr. Kum.
“InaSH selalu berupaya untuk mengajak masyarakat dan stakeholders lainnya untuk berkolaborasi menyelesaikan permasalahan hipertensi di segala usia, serta ibu hamil. Kami berharap, ke depannya angka hipertensi akan semakin menurun sehingga potensi terjadinya komplikasi juga akan berkurang, serta terjadi perbaikan kualitas hidup pada masyarakat Indonesia,” tutupnya.**