Health

Waspada! Pruritus dan Kulit Kering, Bisa Jadi Penyakit Berbahaya dan Menurunkan Kualitas Hidup Lansia, Bagaimana Cara Atasinya?

puanpertiwi.com – Pruritus (kulit gatal) adalah kondisi di mana seseorang merasakan sensasi tidak menyenangkan pada kulit hingga memicu keinginan untuk menggaruk.

Pada umumnya, mereka yang menginjak pada usia lanjut / lansia, cenderung mudah terserang pruritus.

Penyebab pruritus inilah yang menentukan apakah kulit mengalami gatal biasa, atau memerah, atau kasar, atau terdapat benjolan, atau kulit melepuh.

Sementara, Xerosis (kulit kering) kerap membuat tekstur kulit menjadi kasar dan pecah-pecah, sehingga mempermudah bakteri masuk ke dalam tubuh.

Kondisi xerosis ini juga bisa berujung Pruritus. Jika gatal pruritus berlanjut lebih dari 6 minggu, maka berpotensi menjadi penyakit kronis lainnya.

Pruritus dan Xerosis yang kerap terjadi pada usia lanjut / lansia, jika tidak ditangani dengan tepat, akan menurunkan kualitas hidup mereka.

Sedangkan, pruritus dan xerosis pada lansia memang sering diabaikan karena dianggap sebagai hal wajar sehingga tidak perlu berkonsultasi dengan dokter.

Padahal, pruritus dan kulit kering bisa menjadi awal penyakit yang lebih berbahaya, atau bahkan menjadi tanda bahwa seseorang memiliki penyakit tertentu.

Pruritus bahkan bisa mengganggu kualitas hidup seseorang, seperti mengganggu tidur dan menyebabkan kecemasan hingga depresi.

Karena itu, perlu dilakukan pengobatan sesegera mungkin ke dokter spesialis kulit dan kelamin sehingga tidak memicu penyakit lainnya.

Terkait masalah ini, melalui diskusi kesehatan secara virtual, Kamis, 3 November 2022, dr. Anthony Handoko, SpKK, FINSDV, CEO Klinik Pramudia mengatakan, sebagai Klinik Spesialis Kulit dan Kelamin yang terpercaya, Klinik Pramudia selalu berkomitmen memberikan pelayanan kesehatan terbaik bagi seluruh pasien terutama pasien lansia.

“Karena kami sadar bahwa pasien lansia membutuhkan pelayanan kesehatan ekstra yang berbeda dari aspek medis dan non medis dibandingkan pasien pada umumnya,” kata dr. Anthony.

Menurutnya, secara medis, keluhan kulit gatal dan kering pada pasien lansia tidak sesederhana seperti hanya diobati keluhannya saja, tetapi jauh lebih penting bagi kami untuk mencari sumber penyakit yang mendasarinya.

“Kami peduli bahwa keluhan gatal dan kering pada kulit pasien lansia dapat menyebabkan menurunnya kualitas hidup mereka. Maka jangan anggap remeh bila orang tua / kerabat yang sudah menuju lansia memiliki keluhan kulit gatal dan kulit kering,” sambungnya.

Oleh sebab itu, dr. Anthony menambahkan, perlu ada diagnosis serta tatalaksana yang tepat dan benar dari dokter spesialis kulit dan kelamin.

Dalam kesempatan yang sama, dr. Amelia Soebyanto, Sp.DV, Spesialis Dermatologi dan Venereologi Klinik Pramudia menyatakan, xerosis (kulit kering) dapat terjadi pada wanita maupun pria, dan lansia memiliki risiko yang lebih tinggi.

“Kulit kering merupakan suatu keadaan dimana lapisan terluar kulit yang kurang lembab akibat penurunan kandungan air dan kandungan lemak di kulit,” kata dr. Amel.

Dr. Amelia menambahkan, prevalensi kulit kering di seluruh dunia sekitar 29-85%.

Pada sebuah penelitian di salah satu fasilitas kesehatan di Perancis, didapatkan bahwa sekitar 56% pasien berusia >65 tahun mengalami xerosis dan sekitar 9% menderita xerosis derajat sedang-berat.

Dari hasil penelitian tersebut, insiden dan keparahan kulit kering meningkat sesuai dengan pertambahan usia.

Penelitianvoleh Selma didapatkan bahwa xerosis ini lebih banyak ditemukan pada wanita (59%) dengan usia rata-rata 70 tahun.

“Pasien lansia dengan keluhan kulit kering memang belum dapat sembuh total dengan cepat dan akan bertahan dalam waktu lama, karena memang banyak faktor yang berpengaruh baik faktor genetik, internal maupun eksternal,” ucap dr. Amel.

Lebih lanjut, dr. Amelia menjelaskan bahwa faktor internal itu misalnya lapisan lemak yang berkurang pada kulit lansia, dan penyakit penyerta lain seperti diabetes mellitus, gagal ginjal, penyakit hati, keganasan, infeksi, dan riwayat konsumsi obat-obatan tertentu.

Sementara, pada faktor eksternal berasal dari pengaruh lingkungan dan gaya hidup yang sangat berperan dalam timbulnya kulit kering.

“Seperti stres, paparan sinar matahari yang lama, penggunaan air conditioner, perubahan musim dan kelembapan, kebiasaan mandi yang lama, penggunaan sabun yang bersifat iritatif, asupan cairan yang kurang,” tutur dr. Amel.

Ia kembali menambahkan, bahwa banyak masyarakat awam yang menyepelekan kulit kering dan menganggapnya hanya perlu dioleskan pelembab saja.

Padahal, pemilihan obat oles yang tidak tepat pun bisa menimbulkan iritasi.

Perlu ada diagnosis yang lebih jelas dari dokter spesialis kulit dan kelamin untuk mengetahui tatalaksana yang paling tepat untuk menyembuhkan kulit kering.

Tatalaksana kulit kering itu sendiri dibagi jadi dua yaitu medikamentosa dan non-medikamentosa.

Secara medikamentosa, dokter bisa memberikan obat minum untuk mengurangi gatal dan peradangan yang timbul, antibiotik bila ditemukan adanya tanda-tanda infeksi, dan obat oles untuk membantu mengatasi kekeringan pada kulit.

Dokter pun akan merujuk ke spesialis tertentu jika memiliki penyakit penyerta.

Sementara, penatalaksanaan secara non-medikamentosa juga tidak kalah pentingnya.

“Diantaranya dengan memastikan asupan cairan yang cukup, mandi jangan terlalu lama dan terlalu sering, dengan air hangat suam kuku dan sabun yang lembut,” jelas dr. Amel.

Maka dari itu, masyarakat dihimbau untuk lebih waspada dalam penggunaan obat-obatan yang dijual bebas.

Karena hal itu akan berpotensi membuat keluhan semakin parah dan berisiko menimbulkan infeksi akibat keinginan untuk menggaruk.

Di sisi lain, dr. Yustin Sumito, Sp.KK, Spesialis Kulit dan Kelamin Klinik Pramudia juga menjelaskan, secara umum, pruritus sebenarnya bisa dikatakan sebagai gejala dari berbagai penyakit kulit tertentu, dan tidak semuanya menular, tergantung dari penyakit yang mendasari.

dr. Yustin memaparkan bahwa, pruritus yang menular adalah pruritus yang disebabkan oleh infeksi virus, bakteri, atau jamur.

“Tingkat kesembuhan pasien pruritus sendiri juga bergantung pada penyakit yang mendasari, yang penting harus benar dalam pemilihan tatalaksana untuk pruritus,” ucap dr. Yustin.

Dr. Yustin juga menambahkan, salah satu faktor risiko Pruritus adalah mereka yang berusia 65 tahun ke atas.

di Indonesia sendiri, lansia didefinisikan sebagai penduduk berusia 60
tahun ke atas, di mana populasinya diketahui sebesar 10.82% pada tahun 2021, dan
diperkirakan akan terus meningkat (2%-3% per 5 tahun).

Dengan semakin besarnya populasi lansia di Indonesia, tentu risiko Pruritus pun semakin besar.

Terkait faktor risiko, selain karena usia, seseoran bisa tambah berisiko mengalami pruritus dalam berbagai kondisi fisik.

Seperti, memiliki alergi, memiliki kondisi penyakit lain seperti eksim, psoriasis, dan diabetes, sedang hamil, ataupun mereka yang sedang menjalani dialisis.

Menurut dr. Yustin, pada kasus lansia, ada 3 proses utama terkait penuaan yang berhubungan dengan terjadinya pruritus.

Adapun 3 proses utama terkait penuaan yang berhubungan dengan terjadinya pruritus itu, antara lain:

– Pertama, hilangnya fungsi barrier (pelindung atau pembatas) kulit yang menyebabkan turunnya fungsi repair pada kulit.
– Kedua, immunosenescence atau penurunan kerja sistem imun atau sistem perlindungan tubuh.
– Ketiga, neuropati atau abnormalitas sistem saraf, dimana pruritus cenderung lebih sering mengalami kekambuhan.

“Oleh sebab itu, diagnosis dan tatalaksana yang tepat sangat dibutuhkan untuk lansia yang mengalami pruritus,” ujar dr. Yustin.

Di antaranya dengan melakukan deteksi dini pruritus dilakukan melalui anamnesis (menanyakan riwayat pasien), pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang secara menyeluruh.

Untuk diketahui, derajat keparahan gatal ada pada skala 1-10. Bila derajat keparahan di atas 6, gatal dirasakan hingga pasien terbangun dari tidur, maka sudah terjadi gangguan kualitas hidup secara bermakna, sehingga tatalaksana agresif dibutuhkan.

“Tatalaksana pertama yang dilakukan tentu dengan menjaga kelembaban kulit. Misalnya dengan metode soak-and-smear (rendam kulit selama 10-20 menit di dalam air) dan metode wet wraps (perban atau kain basah yang dibalut dengan krim tertentu),” jelas dr. Yustin.

Namun perlu diingat bahwa pengobatan pruritus dan xerosis yang benar dan tuntas tidak sesederhana memakai krim pelembab.

Oleh sebab itu jika masih belum sembuh dan berlanjut dalam waktu yang terlalu lama, maka pengobatan dari dokter SpKK tentu diperlukan,” papar dr. Yustin. *

Penulis: Dwi Kartika Sari

Tags : featured

Leave a Response