Health

Minim Dokter dan Alat Pemeriksaan, Indonesia Terancam 300 Ribu Masyarakat Alami Serangan Jantung Setiap Tahun

puanpertiwi.com – Secara khusus, Indonesia masih memiliki tantangan dalam bidang kesehatan, yakni pada bidang  kardiovaskular.

Seperti diketahui, penyakit kardiovaskular adalah penyakit utama di dunia dengan mortalitas tertinggi.

Serangan jantung misalnya, adalah penyakit kardiovaskular yang membutuhkan penanganan cepat dan tepat.

Mengingat, penyakit jantung masih menjadi penyebab utama kematian di dunia dalam dua dekade terakhir.

Berkaitan dengan polemik ini, dalam konferensi pers Indonesian Society of Interventional Cardiology Annual Meeting, Jumat, 25 November 2022, Menkes Budi menyebutkan tugas dari Presiden adalah meminta Kemenkes untuk melakukan  transformasi kesehatan  sebesar-besarnya atau kesehatan Indonesia tidak akan pernah membaik.

“Ini nggak enak, apalagi buat pemain-pemain lama, mungkin juga buat senior-senior, tapi percayalah masa depan akan cerah,” tegas Menkes Budi Gunadi dalam kata sambutan pada acara pembukaan  ISICAM 2022 , di Hotel Shangrila Jakarta, Jumat 25 November 2022 .

Sementara pada kesempatan yang sama, Ketua Perhimpunan Intervensi Kardiologi Indonesia (PIKI), dr. Doni Firman mengatakan bahwa, di Indonesia sendiri, saat ini Indonesia mengalami kekurangan jumlah dokter spesialis dan alat pemeriksaan untuk menangani pasien penyakit jantung.

“Kita masih kekurangan alat kateter dan tenaga kesehatan. Mungkin kita bisa mendapatkan bantuan dari pemerintah dan semangat dari perhimpunan profesi, mudah-mudahan angka ini bisa dikejar dengan kualitas yang baik,” kata dr. Doni.

Selain itu, Doni juga mengungkapkan bahwa sampai tahun ini Indonesia baru memiliki 329 tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dalam intervensi kardiologi.

Diprediksi pada tahun 2023 diperkirakan akan naik menjadi sekitar 400 orang.

Sementara dari 270 juta penduduk dilaporkan adanya 300 ribu di antaranya mengalami serangan jantung setiap tahun.

Di mana, serangan jantung adalah kondisi yang membutuhkan intervensi segera, dengan waktu maksimal 12 jam.

Jika pasien tersebut tidak ditangani secara langsung, maka akan ada kemungkinan besar untuk tidak bisa diselamatkan. Terutama dalam kasus serangan jantung berat.

“Dalam 12 jam itu pembuluh darah yang tertutup harus dibuka, kalau tidak bisa mati atau gagal jantung. Pemeriksaan dilakukan di ruang kateterisasi, kalau tidak, pasien bisa meninggal,” kata dr. Doni.

Sementara, dr. Doni menyampaikan bahwa dari data yang dimiliki PIKI sampai tahun lalu, ruang kateterisasi Indonesia masih jauh dari ideal.

Menurutnya, berdasarkan data yang tercatat, Indonesia baru memiliki sebanyak 300 ruang kataterisasi yang digunakan dokter jantung dan tenaga medis terkait untuk melakukan penanganan.

Padahal idealnya, secara khusus Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menargetkan dari 400 ribu penduduk ada satu ruang kataterisasi yang dilengkapi dengan dua atau tiga intervensi kardiologi.

Dalam hal ini, dr. Doni menjelaskan ruang keteterisasi menjadi sangat penting dalam menangani pasien dengan penyakit jantung.

Hal itu dikarenakan dokter intervensi kardiologi segera melakukan diagnosa dan mengambil tindakan ke dalam pembuluh darah yang ada di jantung dengan bantuan sinar-X.

“Bagaimana yang dikatakan Pak Menkes, kita akan melakukan lebih banyak tindakan untuk melakukan pengobatan pada orang yang mengalami serangan jantung. Artinya ada sumbatan mendadak di pembuluh darah pembuluh jantung,” kata dr. Doni.

Di sisi lain, untuk mengantisipasi kekurangan alat, seperti alat kateter, dr. Doni meminta pemerintah bisa memenuhi kebutuhan tersebut karena banyak pasien tidak tertolong akibat minim alat.

Belum lagi fakta lain yang menunjukkan 90 ribu bayi dengan penyakit bawaan tak selamat akibat kekurangan alat.

Di samping itu, Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) mengatakan, perlunya kerja sama dan kolaborasi yang lebih kuat, agar bisa menekan kematian semua pasien akibat penyakit jantung.

“Dengan angka kesakitan dan kematian yang cukup besar, kita (PERKI) tidak bisa berdiri sendiri, kata dr. Radityo Prakoso.

Pihaknya meminta, dari organisasi profesi harus dibantu oleh kelompok kerja dan pemangku kepentingan baik pemerintah ataupun pemangku kebijakan.

Menurutnya, untuk saat ini Indonesia masih memiliki tugas yang berat untuk dapat memberikan pelayanan secara merata dengan kualitas yang baik.

Khususnya, dalam menangani kasus penyakit jantung.

Terlebih sampai saat ini masih minimnya dokter jantung untuk menangani pasien dengan penyakit jantung yang ada di Indonesia.

Berdasarkan data PERKI mencatat dokter jantung yang dimiliki negara saat ini hanya ada 1.600 orang.

Sementara untuk dokter jantung yang sudah ada, saat ini juga akan terus dilakukan tentang update informasi, yang mana bisa diharapkan pelayanan terhadap masyarakat semakin lebih baik.

Di samping itu, PERKI juga tengah mengupayakan untuk bisa mencetak lulusan dokter jantung yang mencapai 3.000 orang yang nantinya disebar ke seluruh pelosok Indonesia sesuai dengan lokasi daerah yang membutuhkan, pada tahun 2030.

Dengan harapan lulusan dokter jantung terbaru itu, memiliki kualitas pendidikan yang terjaga.

“Tidak hanya kuantitas saja, kuantitas banyak tapi kualitas rendah itu akan membahayakan masyarakat,” ujar dr. Doni.

Dalam hal ini, dr. Radityo berharap pemerintah dapat menaruh perhatian lebih dan memperkuat kerja samanya baik dengan organisasi profesi maupun pokja dalam meningkatkan kuantitas maupun kualitas dokter jantung beserta sarana prasarananya.

“Jadi kita harus bekerja sama untuk mengatasi masalah ini. Kami pun seperti yang sudah dikatakan oleh Bapak Menkes, kita harus mulai dari semua lini kesehatan,” katanya.*

Penulis: Dwi Kartika Sari

Tags : featured

Leave a Response