Health

Lima Program CERDIK, Upaya Atasi Kematian Dini Akibat Hipertensi

puanpertiwi.com – Sampai saat ini, hipertensi masih menjadi salah satu masalah kesehatan utama seluruh masyarakat di Indonesia.

Adapun demikian, lantaran jumlah penyandang hipertensi di Indonesia tidak berkurang dalam satu dekade terakhir.

Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan dari hasil survei nasional di Indonesia tahun 2018 menunjukkan prevalensi hipertensi adalah 34,1%, tidak berbeda dengan hasil survey nasional tahun 2007 yang besarnya 31,7%.

Tingginya jumlah penyandang hipertensi menjadi beban berupa tingginya angka kesakitan dan kematian penyakit jantung, stroke dan gagal ginjal kronik.

Oleh karena itu, upaya pencegahan hipertensi yang optimal dan tatalaksana hipertensi sangat diperlukan untuk menurunkan risiko kesakitan, komplikasi, bahkan risiko kematian dini.

Di antaranya, dengan modifikasi gaya hidup dan pemberian terapi obat rutin ketika sudah diperlukan.

Dr. Amanda Tiksnadi, SpS(K), PhD, Ketua Panitia The 17th Annual Scientific meeting InaSH 2023 dalam diskusi daring kesehatan, Jumat 24 Februari 2023, di Jakarta, mengatakan akan berusaha untuk mencoba melebarkan sayap dengan mengajak klinisi dan perawat di Indonesia bergerak mengatasi hipertensi.

“Mulai dari hulu secara optimal, yaitu mulai bertindak di fase prevensi atau pencegahan tanpa melupakan optimalisasi tatalaksana hipertensi,” kata dr. Amanda.

Pada kesempatan yang sama, dr. Erwinanto, Sp.JP(K),FIHA, Ketua InaSH, menghimbau kepada semua masyarakat untuk selalu melakukan pengulangan dalam pemeriksaan tekanan darah setidaknya setiap tahun.

Jika tekanan darah terukur 130-139/85-89 mmHg (tekanan darah normal tinggi) dan lebih sering jika terukur 140/90 mmHg atau lebih (hipertensi).

Namun, jika tekanan darah 130-139/85-89 mmHg, maka akan berisiko menjadi hipertensi di masa datang.

Sebuah penelitian menunjukkan risiko menjadi hipertensi 2 tahun ke depan adalah 40% jika tekanan darah 130-139/85-89 mmHg.

Jika tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih, berisiko mengalami penyakit jantung, stroke dan gagal ginjal yang jauh lebih besar dibandingkan mereka dengan tekanan darah lebih rendah.

“Dengan mengetahui tingkat tekanan darah, diharapkan seseorang menjadi lebih sadar untuk melakukan usaha menurunkannya jika diperlukan,” kata dr. Erwinanto.

Seseorang dianjurkan menurunkan tekanan darah jika terukur 130/85 mmHg atau lebih, dengan melakukan intervensi gaya hidup seperti berolah raga teratur, menurunkan berat badan, mengurangi asupan garam.

Sementara, untuk seseorang memiliki tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih, mungkin perlu terapi obat.

“Dokter akan memutuskan apakah perlu terapi obat atau tidak,” jelasnya.

Dr. Erwinanto juga menjelaskan, bahwa Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia beranggotakan dokter yang mempunyai keseminatan dalam bidang hipertensi dan berada di bawah Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Banyak kegiatan yang telah dilakukan seperti usaha meningkatkan kesadaran hipertensi di masyarakat bersama Kemenkes RI, menerbitkan beberapa pedoman hipertensi bagi dokter, melakukan pertemuan untuk meningkatkan pengetahuan dokter di bidang hipertensi.

Di sisi lain, dr. Djoko Wibisono, Sp.PD-KGH, Sekretaris Jenderal InaSH dalam pemaparannya mengatakan, bahwa tidak jarang hipertensi ditemukan secara tidak sengaja pada waktu pemeriksaan kesehatan rutin atau datang dengan keluhan lain.

Berawal dari kondisi yang sering kali diabaikan sebagian besar orang yang merasa tidak memiliki keluhan.

“Namun sesungguhnya menjadi sumber komplikasi kesehatan yang lebih fatal untuk organ vital seperti otak, jantung, maupun ginjal,” kata dr. Djoko.

Dr. Djoko menambahkan, bahwa berangkat dari kondisi tersebut, hipertensi sering disebut sebagai ‘Si Pembunuh Senyap’ atau ‘The Silent Killer’.

Ia juga mengatakan, bahwa Hipertensi sendiri terbagi dalam dua kelompok penyebab.

Yakni, hipertensi primer (esensial) sebanyak 90-95% kasus merupakan hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya.

Serta, hipertensi sekunder (5-10%), yaitu tekanan darah tinggi disebabkan oleh penyebab yang mendasarinya antara lain berhubungan dengan tanda-tanda gangguan pembuluh darah ginjal, gangguan kelenjar gondok (tiroid), dan penyakit kelenjar adrenal (sebuah kelenjar di atas ginjal yang bertugas menghasilkan hormon), serta konsumsi obat-obatan tertentu.

Tekanan darah tinggi pada hipertensi primer dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor risiko seperti, usia lanjut, obesitas, adanya riwayat hipertensi pada keluarga.

Selain itu, dapat dipengaruhi juga dengan konsumsi makanan asin atau tinggi garam (natrium), konsumsi makanan kemasan atau makanan cepat saji, kurangnya konsumsi buah dan sayur, pola hidup sedenter yaitu terlalu banyak duduk dan kurang berolah raga, konsumsi alkohol, serta kebiasaan merokok.

Sebagian besar kondisi tekanan darah tinggi, terutama pada kelompok hipertensi primer tidak memiliki gejala yang spesifik.

Gejala klinis baru dirasakan bila kondisi hipertensi telah memberat atau yang telah berkomplikasi.

Adapun, gejala yang dapat muncul antara lain sakit kepala atau pusing, rasa mudah lelah saat aktivitas, nyeri dada, gelisah, penglihatan buram, mimisan, bahkan penurunan kesadaran.

“Namun demikian, hipertensi dapat dicegah jika dapat dikelola dengan baik yang berdampak pada peningkatan kualitas hidup,” kata dr. Djoko.

Sebagian besar pengobatan hipertensi diberikan dalam jangka panjang bahkan mungkin sampai seumur hidup.

Hal itu karena terapi hipertensi ini bertujuan untuk mengendalikan tekanan darah sesuai target agar dapat memperpanjang harapan hidup serta mengurangi risiko komplikasi.

Adapun, upaya pencegahan dan penanggulangan hipertensi dimulai dengan meningkatkan kesadaran masyarakat dan perubahan pola hidup ke arah yang lebih sehat.

Untuk itu Puskesmas sebagai fasilitas pelayanan kesehatan dasar perlu melakukan pencegahan primer yaitu kegiatan untuk menghentikan atau mengurangi faktor risiko hipertensi sebelum penyakit hipertensi terjadi.

“Melalui promosi kesehatan seperti diet yang sehat dengan cara makan cukup sayur-buah, rendah garam dan lemak, rajin melakukan aktifitas dan tidak merokok,” jelas dr. Djoko.

Puskesmas juga perlu melakukan pencegahan sekunder yang lebih ditujukan pada kegiatan deteksi dini untuk menemukan penyakit.

Bila ditemukan kasus, maka dapat dilakukan pengobatan secara dini.

Sementara pencegahan tertier difokuskan pada upaya mempertahankan kualitas hidup penderita.

“Pencegahan tertier dilaksanakan melalui tindak lanjut dini dan pengelolaan hipertensi yang tepat serta minum obat teratur agar tekanan darah dapat terkontrol dan tidak memberikan komplikasi seperti penyakit ginjal kronik, stroke dan jantung,” paparnya.

Sedangkan, sarana dan prasarana untuk diagnosis dan mengobati hipertensi, termasuk mendeteksi kemungkinan terjadi kerusakan organ target atau komplikasi pada dasarnya sudah tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan.

Melalui Puskesmas dan Posbindu PTM, masyarakat cukup mendapat kemudahan akses untuk mendeteksi atau monitoring tekanan darah nya.

Jika mampu membeli tensimeter sendiri untuk memonitor tekanan darah keluarga secara rutin akan lebih baik.

“Namun yang paling penting adalah meningkatkan perilaku hidup sehat. Akhir kata, cegah dan kendalikan hipertensi untuk hidup sehat lebih lama,” ia menekankan.

Tentang pentingnya promotif dan preventif hipertensi, Dr. dr. Antonia Anna Lukito, SpJP (K), PIC Buku Pedoman InaSH mengatakan, bahwa pengendalian hipertensi telah menjadi salah satu program prioritas yang menjadi indikator dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2020-2024).

Selain itu, termasuk juga dalam indikator Rencana Strategis Kementerian Kesehatan tahun 2022-2024.

Hipertensi dapat dicegah melalui upaya edukasi dan deteksi dini yang dilakukan di komunitas.

Hal ini diharapkan dapat mencegah terjadinya hipertensi, mengendalikan hipertensi dan mencegah terjadinya kerusakan organ target akibat komplikasi hipertensi.

Upaya promotif hipertensi dapat dilakukan di sekolah, tempat kerja, Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan rumah sakit.

Dr. Antonia juga menjelaskan, bahwa promotif hipertensi merupakan proses peningkatan kemampuan masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya agar tidak terjadi hipertensi.

Sehingga, untuk tercapai derajat kesehatan yang sempurna, baik fisik, mental, dan sosial, maka masyarakat harus mampu mengenal serta mewujudkan aspirasinya, kebutuhannya, dan mampu mengubah atau mengatasi lingkungannya.

Dalam pelaksanaannya, Promotif Kesehatan Hipertensi dapat dilakukan dengan kegitan penyuluhan (KIE = komunikasi / informasi / edukasi).

Adapun, pencegahan Hipertensi dapat dilakukan dengan program CERDIK yang telah dicanangkan oleh P2PTM KemenKes.

Yakni, antara lain meliputi:
– Cek kesehatan secara berkala,
– Enyahkan asap rokok,
– Rajin aktifitas fisik,
– Diet seimbang,
– Istirahat cukup serta kelola stress.

Pengendalian hipertensi dilaksanakan secara terintegrasi dan berkesinambungan.

Di mulai dari masyarakat, fasilitas kesehatan tingkat pertama, tingkat lanjutan dan kembali ke masyarakat dengan kepatuhan minum obat serta perawatan di rumah/masyarakat yang disebut Continuum of Care.

Keberhasilan penanganan hipertensi, membutuhkan langkah aksi bersama.

Dimana, peranan komunitas dan Lembaga swadaya masyarakat sangat penting, bersama pemerintah dan organisasi lainnya terutama dalam upaya peningkatan kesadaran masyarakat untuk pola hidup sehat, deteksi dini, dan pengendalian tekanan darah.

Dengan berbagai tantangan tersebut di atas, seyogyanya diperlukan kolaborasi antara pemerintah dengan organisasi profesi terkait hipertensi (PERKI dan PERDOSSI) serta organisasi keseminatan hipertensi (PERHI dan PERNEFRI) yang fokus pada peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap pencegahan hipertensi.

“Keberadaan organisasi semacam ini dapat menyampaikan program promotif dan preventif hipertensi kepada masyarakat, untuk mencapai layanan kesehatan pada masyarakat yang optimal diIndonesia, ” tutupnya.

Tags : featured

Leave a Response