Culture

Investor Sosial: Kesuksesan Investasi Berdampak bergantung pada Tingkat Kepercayaan dan Perluasan Jaringan

puanpertiwi.com – Berdasarkan laporan ‘Better Business, Better World’ oleh United Nations Global Compact (UNGC), upaya global untuk mencapai Target Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) memberikan peluang bagi perusahaan dalam merancang strategi pertumbuhan sekaligus membangun kepercayaan dan kesejahteraan yang lebih merata melalui pasar bebas sehingga berdampak untuk memunculkan peluang bisnis baru. Hal ini dibahas dalam AVPN Global Conference 2022, sebuah diskusi dan lokakarya global dari jaringan investor sosial terbesar yang berlangsung di Bali pada 21 – 24 Juni kemarin yang turut didukung oleh Ford Foundation.

Dondi Hananto, Partner di Patamar Capital, menyampaikan, “Wilayah Asia memiliki besaran potensi investasi berdampak atau Impact Investing yang sangat tinggi sehingga mampu dorong pencapaian tujuan SDGs. Melalui wadah untuk berbagi pengalaman dan perspektif, perusahaan dan pasar dapat didorong untuk menjalankan bisnis yang berdampak sosial dan lingkungan.”

Laporan UNGC yang didukung oleh United Nations Development Programme (UNDP) SDGs Impact memprediksi bahwa pencapaian SDGs dapat dicapai dengan menciptakan peluang pasar sebesar $12 triliun di bidang pangan, pertanian, energi, kota, material, kesehatan, dan kesejahteraan yang akan menciptakan 380 juta pekerjaan, dimana 90% diantaranya berada di negara berkembang. Peluang kerja dan pasar inilah yang dapat membantu mengurangi ketimpangan dengan adanya peningkatan pemberdayaan masyarakat.

Meski demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa ada banyak tantangan untuk mewujudkan Impact Investing. Dalam sesi terpisah, Romy Cahyadi, CEO Instellar Indonesia yang telah berkecimpung dalam dunia investasi di Indonesia selama lebih dari satu dekade, mengemukakan tantangan yang dihadapi di bidang Impact Investing. “Inkubasi social enterprise membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk membuahkan hasil, selain itu organisasi juga mesti memiliki mindset entrepreneurial sedari awal. Meski menggunakan entitas non-profit, tapi tetap harus mampu berpikir sebagai dan bergerak dengan mindset serta model kerja profit,” ujar Romy.

Berdasarkan pengalaman kemitraan yang pernah dilakukan, lembaga non-profit selaku penerima investasi, menurut Romy cenderung memiliki aturan yang kurang fleksibel. “Contohnya, lembaga non-profit tidak dapat menyimpan surplus dari overhead. Akibatnya mereka juga kurang fleksibel dalam memaksimalkan profit,” ujar Romy. Ia juga menambahkan bahwa adanya stigma terhadap social investment tentu memerlukan kepercayaan yang harus dibangun melalui perluasan jaringan bersama berbagai pemangku kepentingan dalam mendukung tercapainya SDGs.

Secara menyeluruh, skema yang dilakukan sejalan dengan strategi Ford Foundation dalam memaksimalkan pemberdayaan individu untuk berbagai ide dan inovasi yang berdampak. Alexander Irwan, Direktur Ford Foundation Jakarta, mengatakan, “Impact Investing yang memberikan dampak berkelanjutan menjadi salah satu kunci untuk mengatasi ketimpangan dan mewujudkan keadilan sosial dengan mendorong masyarakat yang lebih berdaya guna. Secara bertahap, skema investasi sosial ini kami yakini mampu dorong Indonesia capai tujuan SDGs 2030.”

Lebih lanjut Romy menyatakan pentingnya menyambut lebih banyak investor yang memiliki niat utama untuk melakukan investasi berdampak. “Tentunya ini perlu disambut dengan penambahan eksekusi program. Karena perlu usaha jangka panjang dalam menyamakan pemahaman kebutuhan untuk mendukung impact investing baik dari pemerintah maupun pihak swasta,” ujar Romy.

Tags : featured

Leave a Response