Marsinah: Dari Pabrik ke Panggung Sejarah, Perjuangan Buruh yang Kini Dikenang Sebagai Pahlawan
puanpertiwi.com – Tiga dekade setelah namanya menggema sebagai simbol perjuangan buruh, Marsinah akhirnya diusulkan menjadi Pahlawan Nasional. Langkah ini bukan sekadar penghormatan atas sosoknya, tapi juga pengakuan terhadap perjuangan kaum pekerja yang selama ini jarang mendapat tempat dalam sejarah besar negeri ini.
Lahir pada 10 April 1969 di Desa Nglundo, Nganjuk, Jawa Timur, Marsinah tumbuh di tengah keterbatasan. Selepas sekolah menengah, ia merantau ke Surabaya dan bekerja di pabrik arloji PT Catur Putra Surya (CPS) di Porong, Sidoarjo. Di tempat itulah jiwa kritisnya tumbuh—menyuarakan hak-hak rekan kerjanya, menuntut upah layak, dan memperjuangkan kebebasan berserikat.
Namun perjuangan itu berujung tragis. Tahun 1993, saat gelombang aksi buruh menuntut kenaikan upah merebak, Marsinah ditemukan tewas dengan tanda-tanda kekerasan. Tragedi itu mengejutkan publik dan menorehkan luka dalam di sejarah perburuhan Indonesia. Ia tak hanya menjadi korban ketidakadilan, tapi juga simbol keberanian perempuan pekerja yang melawan sistem yang menindas.
Kini, setelah lebih dari 30 tahun berlalu, namanya kembali mencuat. Dalam momentum Hari Buruh Internasional (May Day) 2025, Presiden Prabowo Subianto menyatakan dukungan agar Marsinah dianugerahi gelar Pahlawan Nasional dari kalangan buruh. Menteri Sosial Saifullah Yusuf pun mengonfirmasi bahwa prosesnya sedang dikaji, meski belum dapat diputuskan tahun ini karena harus melalui tahapan penilaian panjang.
Dukungan publik pun mengalir. Bagi banyak aktivis dan komunitas buruh, pengakuan terhadap Marsinah bukan hanya soal gelar, tapi simbol keadilan sosial yang terus diperjuangkan. Ia menjadi wajah dari keberanian untuk bersuara, bahkan ketika risiko terbesar adalah nyawa sendiri.
“Menetapkan Marsinah sebagai pahlawan berarti mengakui bahwa perjuangan buruh adalah bagian penting dari sejarah bangsa. Ini bukan hanya soal masa lalu, tapi tentang bagaimana kita memperlakukan pekerja hari ini.” ujar salah satu aktivis serikat pekerja di Jakarta.
Namun di tengah euforia, muncul pula refleksi: apakah penghargaan itu akan cukup, jika kasus kematiannya belum sepenuhnya terungkap? Banyak pihak berharap, langkah ini tak berhenti pada simbol, tetapi juga mendorong keadilan dan perbaikan nyata bagi pekerja Indonesia.
Marsinah mungkin telah tiada, tapi semangatnya tetap hidup. Ia mengingatkan bahwa pahlawan tidak selalu datang dari medan perang—kadang, mereka lahir di antara deru mesin pabrik, di tangan-tangan yang bekerja tanpa lelah, dan di suara yang menolak diam saat melihat ketidakadilan. ***



Post Comment
You must be logged in to post a comment.