Krisis Komunikasi Publik Pemerintah Prabowo-Gibran Menciptakan ‘Pajak Perhatian’
puanpertiwi.com – Analisis terbaru dari tim peneliti Magpie Public Relations menguak pola komunikasi publik Pemerintahan Prabowo-Gibran yang cenderung reaktif dan volatil. Pola ini tidak hanya menimbulkan kontroversi politik, namun secara struktural menciptakan “Pajak Perhatian” (Attention Tax) masif yang mendistorsi lanskap media nasional. Krisis ini secara langsung menaikkan biaya operasional serta menurunkan efektivitas bisnis komunikasi, marketing, dan public relations (PR) di Indonesia.
Kegagalan sistemik dalam mengelola pesan strategis telah memonopoli kapasitas perhatian publik dan media massa, di mana komunikasi elite politik sering bertindak sebagai detonator kontroversi alih-alih meredakan kekhawatiran. Dengan dominasi berita politik destruktif, upaya komunikasi komersial, baik branding korporat, peluncuran produk, maupun kampanye CSR, kini harus membayar biaya yang jauh lebih tinggi (Attention Tax) untuk menembus kebisingan (noise) politik yang masif.
“Pola komunikasi yang volatil ini memanfaatkan prinsip Teori Agenda Setting (McCombs dan Shaw), di mana isu-isu yang diproduksi oleh pusat kekuasaan —seringkali melalui blunder— secara otomatis didorong sebagai agenda utama media. Media secara komersial dan profesional dipaksa untuk meliput konflik dan inkonsistensi politik karena tingginya salience (nilai berita) dan engagement yang dihasilkan,” ungkap Ibnu Haykal, Direktur Magpie Public Relations.
Dampak struktural dari dominasi ini terkonfirmasi oleh data sentimen publik, di mana Survei National Kawula17 Survey (NKS) Q2 2025 menunjukkan bahwa perhatian publik, khususnya pada demografi kunci pemasaran Gen Z dan Milenial, terkunci secara eksklusif pada isu-isu eksistensial negara. Isu Ekonomi (52%) konsisten menempati posisi teratas yang didorong oleh kekhawatiran mendesak seperti meningkatnya pengangguran (49%) serta mahalnya harga bahan pokok (43%). Selain isu ekonomi, maraknya Praktik Korupsi (48%) juga disorot dan dianggap perlu segera diselesaikan oleh pemerintah.
Secara kumulatif, konsentrasi perhatian publik pada isu Krisis Negara (Ekonomi dan Korupsi) ini mencapai hampir 100% dari prioritas utama. Hal ini secara matematis menunjukkan bahwa bandwidth kognitif publik telah sepenuhnya dialokasikan untuk drama kekuasaan dan krisis, meninggalkan ruang yang sangat minim bagi pesan-pesan komersial. Krisis ini merupakan hasil langsung dari kegagalan dalam Manajemen Komunikasi Krisis yang ditandai oleh inkonsistensi elite dan minimnya kejelasan substansi kebijakan.
Para pakar UGM bahkan menyoroti bahwa berbagai program pemerintah masih “minim kejelasan soal perencanaan dan tingkat implementasi di lapangan”. Ketika substansi kebijakan tidak jelas, komunikasi yang mengikutinya secara inheren menjadi reaktif dan memicu polemik.
Kegagalan tata kelola komunikasi Istana (PCO) diperburuk oleh serangkaian blunder komunikasi individual menteri dalam pekan-pekan awal menjabat. Beberapa menteri memicu kontroversi substansial yang merusak kredibilitas kebijakan.
Menko Hukum dan HAM, Yusril Ihza Mahendra, menuai kecaman publik setelah menyatakan bahwa peristiwa 1998 bukan pelanggaran HAM berat, yang merusak komitmen pemerintah terhadap penyelesaian kasus HAM masa lalu. Di sektor ekonomi, Zulkifli Hasan memicu kepanikan dan kebingungan pasar setelah mengeluarkan pernyataan terkait isu ‘udang radioaktif’, yang ia nyatakan aman untuk dimakan.
Blunder finansial terjadi ketika Menteri HAM, Natalius Pigai, secara terbuka meminta tambahan anggaran fantastis Rp 20 triliun untuk kementerian baru. Selain itu, masalah etika dan profesionalisme muncul dari Menteri Desa, Yandri Susanto, yang mengakui menggunakan kop surat kementerian resmi untuk acara pribadi, dan dari Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni yang menjadi sorotan karena tindakan yang dianggap kurang etis, seperti terlihat bermain domino dengan tokoh kontroversial.
Serangkaian insiden ini, ditambah blunder Kepala PCO saat itu yang menyarankan untuk “dimasak saja” terkait insiden paket kepala babi di kantor redaksi Tempo, secara kolektif mengirimkan sinyal negatif tentang komitmen pemerintah terhadap Tata Kelola Perusahaan yang Baik (GCG) dan profesionalisme di mata publik dan investor.
Attention Tax secara nyata menaikkan cost-per-reach kampanye pemasaran, yang merupakan Kenaikan Biaya dan Penurunan ROI.
Dana yang dialokasikan untuk marketing komersial menghasilkan Tingkat Pengembalian Investasi (ROI) yang jauh lebih rendah karena pesan gagal menembus dinding perhatian yang didominasi isu krisis. Ketika politik begitu bising, electoral marketing secara efektif menggusur commercial marketing di ruang digital dan konvensional, yang menyebabkan Dominasi Electoral Marketing dan menaikkan cost of doing business bagi seluruh sektor komersial.
Lingkungan komunikasi yang volatil ini menyebabkan Pergeseran Model Bisnis PR. Industri PR kini dipaksa melakukan pivot dari strategi proactive positioning (membangun citra positif) menjadi reactive defense (mitigasi krisis dan analisis risiko politik) yang jauh lebih mahal dan sensitif.
Riset Magpie Public Relations menunjukkan 83% milenial menginginkan brand dan tokoh publik yang benar-benar etis, yang berani berjuang untuk isu sosial dan lingkungan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) memperkuat urgensi perubahan ini: Generasi Z dan Milenial kini mendominasi populasi, dengan komposisi masing-masing 27,94% dan 25,87%, menjadikan tuntutan etika dan isu sosial sebagai mandate komunikasi yang tidak bisa diabaikan.
Untuk menstabilkan lingkungan komunikasi publik dan mengurangi Attention Tax pada sektor komersial, diperlukan perbaikan fundamental. Pemerintah perlu segera menghentikan praktik komunikasi kontradiktif yang merugikan kredibilitas publik. Diperlukan Juru Bicara tunggal yang kuat dan PCO yang berfungsi sebagai unit strategis proaktif, bukan hanya unit responsif.
Komunikasi harus didasarkan pada perencanaan dan kejelasan eksekusi kebijakan yang terstruktur, bukan hanya ambisi atau janji. Elite politik juga harus mengadopsi komunikasi yang sensitif, menghindari diksi emosional dan reaktif, karena pengakuan atas sentimen publik terkait isu korupsi dan tekanan ekonomi adalah kunci membangun kembali kredibilitas.
Sementara itu, Industri Komersial perlu menerapkan strategi bertahan dan adaptasi. Konsultan PR harus meningkatkan kapabilitas analisis risiko politik (PRA) dan menyelaraskan narasi korporat dengan prioritas eksistensial publik, seperti program CSR yang relevan dengan isu pengangguran, sebagai bagian dari upaya Pivot ke Issue Management Berbasis Data.
Selain itu, industri perlu mengurangi ketergantungan pada media populer yang didominasi polemik politik dan menggeser pesan ke platform spesifik dan komunikasi langsung untuk menjangkau target audiens tanpa terpengaruh noise politik, yaitu melalui Komunikasi Niche dan Deep Media. ***
Post Comment
You must be logged in to post a comment.