Babak Baru Kisah Manusia dan AI dalam Film “Tron: Ares”

puanpertiwi.com – Setelah lebih dari satu dekade hibernasi, waralaba digital legendaris milik Disney akhirnya kembali menggetarkan layar lebar lewat “Tron: Ares”, babak baru yang menyalakan kembali percikan nostalgia sambil menginjak gas ke masa depan.

Disutradarai oleh Joachim Rønning, film ini bukan hanya sekadar petualangan sci-fi penuh efek visual yang mencengangkan—ia adalah refleksi puitis tentang batas antara kode dan nurani, mesin dan makna.

Ares: Mesin dengan Nurani

Di dunia yang serba terkoneksi, kehadiran Ares (Jared Leto)—sebuah program canggih yang dikirim dari dunia digital ke realitas—terasa seperti metafora yang hidup. Ia bukan sekadar karakter CGI berwajah manusia; Ares adalah pertanyaan besar dalam wujud makhluk cerdas: Jika sebuah mesin bisa merasa, lalu siapa sebenarnya yang lebih manusia?

Dikirim untuk misi rahasia oleh Julian Dillinger, Ares justru tersesat dalam pencarian jati diri yang mengharukan. Layaknya kisah klasik Frankenstein di era post-cyberpunk, film ini menyuguhkan konflik eksistensial yang menggugah.

Koneksi yang Mengubah Segalanya

Chemistry antara Ares dan Eve Kim (Greta Lee), CEO jenius ENCOM, menjadi pusat emosional dari film ini. Eve bukan hanya karakter pendukung; ia adalah cermin yang membuat Ares—dan kita semua—berpikir ulang tentang arti keberadaan. Ada keheningan di antara mereka yang bicara lebih banyak daripada dialog panjang: tentang kehilangan, harapan, dan kemungkinan hidup berdampingan antara manusia dan ciptaannya.

Sementara itu, Julian Dillinger (Evan Peters) tampil mencolok sebagai penemu muda yang kompleks—ambisius, brilian, tapi juga rapuh. Di tangannya, “kemajuan” teknologi jadi medan perang antara etika dan ego.

Visual yang Mempesona, Musik yang Menggugah

Tidak ada yang mengecewakan soal tampilan visual. “Tron: Ares” menampilkan desain produksi yang menggabungkan estetika digital klasik dari Grid dengan kilatan futuristik yang lebih kelam dan nyata. Dunia nyata dan digital tak lagi terpisah—mereka saling membaur, menegaskan bahwa “realita” kini bukan lagi satu dimensi.

Satu lagi bintang tak kasatmata dalam film ini: musik. Dengan iringan atmosferik dari Nine Inch Nails, setiap adegan terasa seperti bagian dari konser distopia—liar, gelap, dan sangat menghanyutkan.

Kembalinya Sang Legenda

Dan tentu, kemunculan kembali Jeff Bridges sebagai Kevin Flynn adalah momen manis yang menggugah hati para penggemar lama. Ia hadir seperti kenangan yang tak pernah benar-benar pergi—membawa nostalgia, namun juga penutup yang bijak bagi babak panjang pencarian digital ini.

Verdict: Lebih dari Sekadar Sekuel

“Tron: Ares” bukan hanya kelanjutan dari saga teknologi. Ini adalah refleksi emosional tentang menjadi manusia di tengah gelombang kecerdasan buatan, yang semakin hari tak hanya mengerti perintah, tapi juga perasaan.

Apakah mesin bisa bermimpi? Apakah manusia bisa menciptakan empati yang melebihi dirinya sendiri?

Film ini tak menjawabnya secara eksplisit. Tapi lewat Ares, ia menyodorkan kemungkinan: bahwa masa depan tak harus menakutkan—selama ada nurani di balik setiap kode. ***

Post Comment