Museum London Angkat Kisah Terlupakan Tentara Afrika dan India dalam Perang Dunia II

puanpertiwi.com – Kisah pasukan Afrika dan India yang selama ini jarang diangkat dalam sejarah resmi Perang Dunia II kini mendapatkan sorotan baru lewat pameran Beyond Burma: Forgotten Armies di Museum Angkatan Darat Nasional, London.

Pameran ini menyoroti pengalaman puluhan ribu tentara dari koloni Inggris yang bertempur di Asia Selatan melawan pasukan Jepang, namun nyaris terhapus dari ingatan sejarah.

Diperkirakan 80.000 tentara dari Afrika Barat , termasuk dari Gambia, Ghana, Sierra Leone, hingga mayoritas dari Nigeria, dikirim ke Asia Selatan setelah 1943, tergabung dalam Divisi ke-81 dan ke-82 (Afrika Barat) Angkatan Darat Inggris.

Mereka berlayar ribuan kilometer menuju Burma (sekarang Myanmar) dan menjadi bagian dari Angkatan Darat ke-14.

Namun kontribusi mereka kerap diabaikan. Komandan sekutu saat itu, Jenderal William Slim, bahkan tidak menyebutkan pasukan Afrika dalam pidato penghormatannya.

“Jika dijabarkan secara numerik, di Angkatan Darat ke-14 terdapat 340.000 tentara India, 100.000 tentara Inggris, dan 80.000 tentara Afrika. Jumlah tentara India tersebut terus bertambah, dan pada akhir tahun 1945, Angkatan Darat India didominasi oleh tentara India,” jelas Dr. Alan Jeffreys, kepala koleksi dan penelitian museum.

Di Inggris sendiri, pasukan Asia Selatan kala itu dikenal sebagai ‘tentara yang terlupakan’ karena perhatian publik lebih terpusat pada ancaman Nazi di Eropa.

Pameran yang dibuka pada 16 September ini menampilkan medali, foto, dan karya seni langka milik tentara Afrika dan India.

Fokusnya adalah menggambarkan realitas perang di hutan tropis, transformasi Angkatan Darat India, serta kampanye panjang yang berlangsung di Asia Tenggara hingga akhir 1940-an.

Salah satu karya yang dipamerkan adalah lukisan ‘And The World Was Covered in Darkness, 1943’ karya Mayor Conrad ‘Dick’ Richardson.

“Karya itu menunjukkan betapa sesaknya hutan. Rasanya seperti lingkungan asing bagi hampir semua prajurit yang bertempur di sana,” kata Jeffreys.

Ia menambahkan, baik tentara Australia di Malaya, maupun pasukan India, Afrika, hingga Inggris di Burma, hampir tidak ada yang memiliki pengalaman perang di hutan sebelumnya.

Richardson sendiri tergabung dalam D-Force, pasukan kecil yang ditugaskan membuat jejak palsu di belakang garis musuh, di bawah komando Peter Fleming, saudara penulis James Bond, Ian Fleming.

Jeffreys menekankan bahwa tujuan utama pameran ini bukan sekadar menampilkan artefak sejarah, melainkan mengubah cara masyarakat memandang perang tersebut.

“Pameran ini berusaha memposisikan ulang konflik dalam imajinasi publik,” ujarnya.

“Pameran ini berjudul Beyond Burma – karena pertempuran juga terjadi di India, Indonesia, dan Vietnam. Kisahnya berlanjut hingga kemerdekaan Burma pada 1948. Kami ingin menunjukkan bahwa banyak tentara India-Afrika terlibat. Biasanya fokusnya pada tentara Inggris atau tawanan perang, itulah yang umum diingat di negara ini,” ungkap Jeffreys.

Upaya menyeimbangkan narasi sejarah sebenarnya sudah dimulai beberapa tahun terakhir. Pada 2007, novel Burma Boy karya Biyi Bandele menghidupkan kembali kisah tentara Afrika.

Kemudian, pada 2013, Griff Rhys Jones membuat film dokumenter tentang ayahnya yang memimpin pasukan Ghana.

Peringatan 70 tahun Hari Kemenangan atas Jepang (VJ Day) satu dekade lalu juga sempat menyoroti pengalaman tentara Afrika yang selamat.

Beberapa veteran bahkan menggambarkan diperlakukan seperti ‘budak’ oleh Inggris, meski juga mengenang interaksi lebih positif dengan tentara Afrika-Amerika setelah Jepang menyerah.

Cerita-cerita itu kini menginspirasi generasi baru untuk mengenang pengorbanan leluhur mereka.

“Saya tahu orang Nigeria bertempur, tetapi itu sangat jauh sehingga saya tidak dapat membayangkan bagaimana hal itu memengaruhi saya sebagai orang Nigeria,” kata seorang cucu veteran Nigeria yang bertugas di Asia Selatan.

Dengan pameran ini, Museum Angkatan Darat Nasional berusaha memastikan bahwa kisah para prajurit dari India dan Afrika tidak lagi tenggelam dalam bayang-bayang sejarah Eropa. ***

 

 

 

Post Comment