UGARI: Perjalanan Tujuh Tahun Tobatenun Menjaga dan Menghidupkan Tenun Batak
puanpertiwi.com – Tobatenun resmi menandai tujuh tahun perjalanannya melalui UGARI, yang dalam Bahasa Batak Toba berarti budaya.
Judul ini tidak sekadar nama, tetapi juga cerminan semangat Tobatenun dalam merevitalisasi warisan budaya sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi kreatif berbasis wastra, khususnya Tenun Batak.
UGARI menjadi momentum penting untuk memperkenalkan kembali perjalanan Tobatenun melalui program Studio & Gallery yang kini hadir lebih lapang dan selaras, berlokasi di Sopo Del Tower, Jakarta.
Dalam semangat kolaborasi dan eksplorasi kreatif, UGARI menghadirkan interpretasi Tenun Batak kontemporer.
Bersama lima desainer mode dan label, Tobatenun menggandeng Danjyo Hiyoji untuk menghadirkan karya-karya modern yang tetap berpijak pada nilai dan teknik tradisi.
Program ini juga mendapatkan dukungan dari Paragon Group, Wings Group, Burju, dan Manjusha.
Rangkaian acara dimulai dengan UGARI: LUHUR pada Selasa, 30 Juli 2025, sebuah temu media dan simposium yang mengupas salah satu bentuk Tenun Batak paling kompleks: Ulos Ragi Idup.
Dalam sesi ini, Carmel Boutique dan Eridani menampilkan koleksi yang mengangkat Ulos Ragi Idup serta tenun turunannya sebagai media ekspresi desain busana.
UGARI berlanjut dengan UGARI: BORNGIN pada Rabu, 31 Juli 2025.
Borngin berarti ‘malam’ dalam Bahasa Batak Toba, dan sesi ini dikemas hangat layaknya sebuah housewarming.
AMOTSYAMSURIMUDA, Qanagara, dan Danjyo Hiyoji mempersembahkan trunk show berisi koleksi modern, wearable, serta berjiwa muda—termasuk eksplorasi kreatif potongan kain perca hasil produksi.
Sebagai bagian dari inisiatif edukasi dan keterlibatan publik, pameran visual UGARI dibuka untuk umum pada 1–15 Agustus 2025, setiap Senin hingga Jumat.
Pameran ini menampilkan dokumentasi perjalanan Tobatenun serta interpretasi estetika Tenun Batak dalam bentuk presentasi visual.
“Pembukaan kembali Tobatenun Gallery & Studio dengan ruang yang diperluas diharapkan dapat memperkuat narasi Tobatenun,” kata Kerri Na Basaria Pandjaitan, CEO Toba Tenun Sejahtra.
Kerri juga menambahkan harapannya agar masyarakat bisa mengenal lebih dekat aktivitas Tobatenun di wilayah para artisan.
“Harapan kami, publik dapat memahami lebih dalam aktivitas Tobatenun di wilayah para artisan tenun, khususnya dalam hal revitalisasi, riset pengembangan dan pewarnaan alami, serta pendekatan personal dan kolektif kepada para perajin,” ujarnya.
Di sisi lain, Kerri mengaku tidak bisa dipungkiri, ada tantangan tersendiri dalam menjaga relevansi Tenun Batak lintas generasi.
“Faktor harga udah pasti menjadi tantangan nomor satu. Apalagi kalau di Jakarta yang semakin banyak brand dari luar. Orang bisa merasa, ‘Ngapain beli tenun segini mahal, yang aku gak bisa pakai sering-sering juga? Mending beli tas mahal atau sepatu mahal.’ Jadi kalau lintas generasi itu emang sulit sih,” ungkap Kerri.
Meski begitu, ia menegaskan bahwa antusiasme generasi muda menjadi alasan utama untuk tetap optimistis bahwa tenun dapat terus berkembang dan menemukan relevansinya di setiap zaman.
“Menurut saya banyak sih sebenarnya enthusiasm-nya dari anak muda juga. Tapi gimana caranya kita bisa approach dan membuat lebih gampang dan accessible buat mereka untuk punya tenun. Memang harus dengan kolaborasi dengan desainer, kolaborasi dengan anak-anak muda, dan mereka yang bisa menjadi role model buat yang lain. Intinya kita harus menggunakan semua cara untuk menghadapi tantangan ini,” pungkasnya.
Sebagai sebuah social enterprise, Tobatenun berfokus pada pelestarian budaya melalui Tenun Batak, pengembangan mode berkelanjutan, serta pemberdayaan perempuan melalui Yayasan Rumah Komunitas Wastra.
Yayasan ini menaungi dua inisiatif berbasis komunitas di Pematangsiantar, Sumatra Utara: Jabu Bonang sebagai ruang kreasi, dan Jabu Borna yang berperan sebagai laboratorium warna alami bagi para artisan.***
Post Comment
You must be logged in to post a comment.